ShoutMix chat widget
BACUETSAPAT

Jumat, 20 Mei 2011

POLIGAMI DAN HAK KEISTIMEWAAN DALAM ISLAM

PERKAWINAN merupakan suatu ikatan yang sakral dalam membentuk sebuah keluarga. Pada dasarnya, semua agama di dunia ini menganjurkan penganutnya untuk melaksanakan perkawinan yang akan mengatur kehidupan serta pergaulan laki-laki dan wanita secara sah. Asas perkawinan yang disyariatkan oleh Islam adalah perkongsian hidup yang kekal dalam suasana rumah tangga yang harmonis, bukan sekedar memenuhi tuntutan nafsu naluri semata-mata. Islam menetapkan peraturan-peraturan yang lengkap termasuk dalam hal poligami atau mempunyai isteri lebih dari pada satu orang dalam satu waktu. Poligami merupakan salah satu persoalan yang kontroversial dan paling banyak dibicarakan. Di satu sisi, poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan jender. Para penulis Barat sering mengklaim bahwa poligami adalah bukti ajaran Islam dalam bidang perkawinan yang sangat diskriminatif terhadap wanita. Sementara pada sisi lain, poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi. Persoalan ini perlu diperjelas agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan. Kajian berikut ini mencoba melihat pendapat sekitar poligami.





1. Pengertian Poligami



DALAM Kamus Dewan Bahasa (2002, 1049), poligami, bermakna: amalan beristeri lebih daripada satu orang pada masa yang sama.

Ada juga yang mendefinisikan perbuatan seorang laki-laki mengumpulkan tanggungannya dua sampai empat isteri, tidak boleh lebih.

Dalam Bahasa Arab, poligami disebut ta’addad (ﺘﻌﺪﺩ) berarti bilangan manakala perkataan al-zawjat (ﺍﻠﺯﻭﺠﺎﺖ) diambil dari perkataan al-zawjat (ﺍﻠﺯﻭﺟﺔ) yang berarti isteri. Dua perkataan tersebut apabila digabungkan menjadi arti jama’ yaitu banyak isteri. Maka poligami dapat dikatakan sebagai perkawinan melebihi seorang isteri, berbeda dengan monogami yang mempunyai arti perkawinan dengan seorang wanita sahaja. Sedangkan poliandri yaitu wanita yang bersuami lebih dari seorang dalam suatu masa (Zaini, 2000: 2).



2. Sejarah Poligami

2.1. Poligami Menurut Yahudi



DISEBUTKAN dalam Taurat bahwa Nabi Sulaiman memiliki 700 isteri dari kalangan wanita merdeka dan 300 isteri dari hamba sahaya. Ibrahim, mempunyai dua orang wanita yaitu Sarah dan Hajar. Abbas Mahmud Al-Aggad dalam bukunya “Liaadzal Hujum ‘Aala Ta’addud az- Zaujat” berkata , ”Tidak ada larangan poligami di dalam Taurat dan Injil, bahkan hal itu dibolehkan dan dilakukan oleh para nabi sendiri, sejak masa Nabi Ibrahim as hingga kelahiran Nabi Isa as (Abu Hafs, 2005: 457).

2.2. Poligami Menurut Nashara dan Era Sebelum Islam di Lingkungan Masyarakat Arab



POLIGAMI sebenarnya sudah terjadi secara meluas pada kebanyakan kelompok bangsa semenjak sebelum kedatangan Islam, di antaranya bangsa Ibrani, Arab Jahiliyah dan Cisilia, kemudian menyebar ke Rusia, Poland, dan Yugoslavia. Tidak ketinggalan di sini adalah orang Jerman dan Saxon, kemudian keturunan mereka menghuni negara-negara seperti Jerman, Belanda, Swedia, Norway, dan lain-lain. Oleh karena itu, kurang tepat jika dikatakan bahawa Islamlah yang mula-mula membawa sistem poligami. Hanya saja poligami yang dianjurkan oleh Islam mempunyai batas-batas serta syarat-syarat tertentu.

Disebabkan tujuan poligami dalam Islam adalah untuk memelihara martabat wanita, bukan menzalimi mereka. Selain daripada itu, sistem poligami hingga hari ini, sebenarnya masih tersebar di kalangan beberapa bangsa yang bukan Islam. Umpamanya orang asli Amerika, India, China, dan Jepang. Pada hakikatnya Agama Kristian juga tidak melarang poligami, karena Isa datang untuk membenarkan syariat Musa as, Allah SWT dalam QS As-Shaff ayat 6 berfirman (Anonim, 1996: 440), yang artinya:

“Dan (ingatlah) ketika Isa putera Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberikan khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad) maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti nyata, mereka berkata: ini adalah sihir yang nyata” (Surah As-Shaff : 6).



Problematika sekarang kenapa penganut Kristian di kalangan bangsa Eropah dahulu mengamalkan perkawinan dengan satu wanita saja (monogami)? Ini adalah disebabkan sebahagian bangsa Eropah adalah penyembah berhala, kemudiaan sampai agama Kristen. Mereka terdiri dari orang Yunani dan Romawi yang telah memegang kebiasaan larangan terhadap poligami, walaupun mereka telah menganut agama Kristen, kebiasaan dan adat nenek moyang mereka masih dipertahankan.

Dengan itu juga bermakna sistem monogami yang mereka jalankan bukan berasal dari agama Kristen yang mereka anut, tetapi ia merupakan warisan agama sebelumnya. Bertitik tolak dari itu, Gereja menetapkan larangan poligami dengan memasukkan larangan sebagai peraturan agama mereka. Sedangkan dalam kitab injil sendiri, tidak sedikit pun menerangkan tentang pengharaman sistem ini (Abu Hafs, 2005: 458).

Poligami memiliki akar sejarah yang cukup panjang sepanjang sejarah peradaban itu sendiri, sebelum Islam itu datang ke Jazirah Arab. Pada masa itu dapat disebut poligami tak terbatas, lebih dari itu tidak ada gagasan keadilan di antara para isteri, suamilah yang menentukan sepenuhnya siapa yang paling dia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak terbatas, para isteri harus menerima takdir mereka tanpa ada usaha untuk memperoleh keadilan (Asghar, 2003: 111).

Ketika Islam melihat poligami sedemikian biadab, maka ia datang untuk mengatur dan mentertibkannya. Lalu menentukan setiap lelaki hanya dapat beristerikan maksimal empat wanita, karena Islam mengetahui kekuatan lelaki dan kelemahan wanita di tengah-tengah dorongan syahwat dan godaan, juga di antara peradaban yang salah satu kepentingannya ialah melemahkan umat Islam sehingga mereka melupakan identitas dan mengikuti syahwat mereka (Abu Hafs, 2005: 460).



3.Hikmah Poligami



SEBAGIAN masyarakat berpendapat bahwa laki-laki tidak berhak melakukan poligami, karena poligami merupakan bentuk kezaliman terhadap wanita (isteri) di mana suami tidak dapat berlaku adil terhadap para isteri, mereka beragumentasi bahwa Al-Quran menetapkan adil sebagai syarat poligami. Allah SWT dalam Surah An-Nisa’ ayat 3 (Anonim, 1996, 61), berfirman:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim bilamana kamu mengawininya, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi dua, tiga, atau empat, kemudian jika kamu takutlah kamu tidak akan berlaku adil maka (kahwinilah) seorang sahaja atau budak-budak yang kamu miliki , yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”



Berlaku adil yang dimaksudkan dalam ayat tersebut ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turut ayat ini, poligami sudah ada dan pernah dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw, Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.

Kemudian Al-Quran menafikan kemampuan suami dapat berlaku adil, seperti difirmankan Allah SWT dalam Surah An-Nisa’ ayat 129 (Anonim, 1996, 78):

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), sekalipun kamu menginginkan demikian, karena itu janganlah kamu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.



Ayat pertama mewajibkan berlaku adil pada hal-hal yang menjadi kesanggupan suami yaitu adil dalam bermalam, nafkah dan pergaulan. Sedangkan ayat kedua menafikan keadilan yangg memang berada di luar kesanggupan suami yaitu cinta dan hubungan badan, sangat jelas kepada kita setiap pensyariatan hukum Allah SWT adalah mempunyai hikmah-hikmah tertentu baik dapat dilihat dengan mata atau tersembunyi.

Begitu juga dengan poligami yang membawa maksud tersendiri. Dilihat dari pendapat yang membolehkan, dapat dilihat dari jumlah wanita yang biasanya lebih banyak dari jumlah kaum laki-laki dan jika monogami berlaku berarti sekian banyak perempuan telah dihilangkan kesempatan untuk bernikah yang akan mengakibatkan terjadi banyak kasus perzinaan serta kerusakan moral.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: “Engkau akan melihat seorang pria diikuti oleh 40 wanita untuk bersenang-senang dengannya karena sedikitnya jumlah kaum pria dan banyaknya jumlah kaum wanita” (Ibnu Hajar, HR Bukhari No. 5231 dan HR Turmudzi No. 2205).

Melahirkan keturunan sangat penting dalam kehidupan ini, bukan berarti menghalangi suami untuk berpoligami, tidak, sekali lagi tidak, tidak sama sekali, banyaknya keturunan merupakan kebanggaan laki-laki pada hari kiamat, sebagai mana Nabi menggambarkan kepada kita dengan: “Menikahlah! Sesungguhnya aku akan membanggakan jumlah kalian di hadapan umat-umat lainnya pada hari qiamat”.[1]

Islam adalah agama kemanusiaan senantiasa menganjurkan umatnya untuk melaksanakan pembangunan tugas tersebut, tentu memerlukan kepada sebuah negara yang kuat dan maju dalam segala bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam mewujudkannya, yaitu dengan lahir anak-anak bangsa yang cemerlang (rakyat yang banyak) turut mempengaruhi pembangunan negara. Poligami merupakan salah satu jalan penyelesaian terbaik bagi meramaikan penduduk.

Penulis Al-Manaar, mengatakan: Rahasia mengenai ketidakmampuan wanita untuk menghasilkan keturunan setelah berusia 50 tahun bahwa kekuatan wanita terus berkurang dan kelemahannya bertambah akibat mengandung, melahirkan, dan menyusui, dan jika usianya semakin menua, maka dia semakin lemah, dan bertambah lemah, dan kelemahannya itu sebagai rahmat dari Allah, tidak menjadikannya siap untuk melahirkan pada tahun tersebut.

Kebolehan poligami dengan pembatasan bilangan yang tidak melebihi dari empat dalam satu masa merupakan rahmat dan kurnia Allah SWT kepada manusia khususnya kepada umat Islam. Bagi kaum lelaki, mereka boleh berpoligami tidak melebihi empat dengan syarat mereka sanggup berlaku adil terhadap isteri-isterinya dalam segala hal, baik material ataupaun lainnya. Namun jika bimbang sekiranya dengan berpoligami itu, mereka akan gagal menjalankan tanggungjawabnya dengan sempurna dan adil, maka poligami haram terhadap mereka. Dengan demikian, di sini tidak ada paksaan atau larangan sama sekali, semuanya adalah tergantung pada kemampuan dan faktor lain yang harus diperhatikan (Nasohah, 2000: 10).

Adapun akibat negatif poligami yang kita saksikan di masyarakat, seperti ketidakadilan suami terhadap isteri-isterinya, hal ini bukan lahir dari syariat poligami itu sendiri, akan tetapi diakibatkan oleh tidak diterapkannya syariat poligami itu dengan benar.

Kebolehan poligami dalam Islam bertujuan untuk kesejahteraan semua pihak, yaitu ahli keluarga korban, masyarakat dan negara, di samping memelihara kesucian Islam itu sendiri sebagai agama yang menitikberatkan perlindungan terhadap semua makhluk (kejadian) terutama manusia agar tidak teraniaya (Zaleha Muhammad, 2002: 1).

Allah SWT berfirman dalam QS An-Nisa’ ayat 19 (Anonim, 1996: 64): “…pergaulilah (wahai para suami) isteri-isteri kamu dengan baik…” Disyaratkan demikian karena Islam menginginkan setiap suami menjalani tanggung jawab terhadap perkawinan yang dilakukan baik monogami maupun poligami.



4. Sebab-Sebab Poligami

SETIAP ayat dalam Al-Quran yang menetapkan syariat tidak hanya terikat dengan suatu hukum atau peristiwa saja, akan tetapi ia mempunyai lingkungan yang lebih luas dan mengandung berbagai hikmah dan rahasia-rahasia yang dapat dijelaskan melalui penjelasan Sunnah Rasul Saw. Begitu juga dengan poligami yang terdapat beberapa faktor yang membolehkan keadaan ini berlaku, berdasarkan keterangan dari Hadist, ahli-ahli tafsir telah merumuskan secara proporsional tentang sebab-sebab berlakunya poligami.



4.1. Mandul



ISTERI yang tidak dapat melahirkan anak merupakan fenomena terhadap laki-laki yang menginginkan keturunan yang akan membahagiakannya di dunia dan di akhirat, maka tiada pilihan selain dua hal, menikah dengan isteri kedua yang akan melahirkan anak-anak yang akan membawa nama dan menjalankan peranan dalam kehidupan dan mendoakan untuknya setelah kematian atau perceraian.

Tidak diragukan bahwa memadunya adalah lebih utama dan lebih mulia daripada perpisahan. Maka semestinya isteri tidak menghalangi suami yang memuliakannya, menghormati dan menghargai kedudukannya untuk menikah lagi.



4.2. Isteri yang Berpenyakit



ADAKALANYA isteri tertimpa penyakit kronis yang tidak memungkinkan untuk menjalani kehidupan alamiah, maka dengan demikian hidup bersama suami dan isteri kedua dan mendapatkan pemeliharaan dan memiliki segala haknya sebagai isteri.



4.3. Tabiat Biologis Pria Berbeda dengan Wanita



TABIAT pria berbeda dengan wanita dalam hal susunan jasmani. Maka masa subur pada laki-laki berlangsung hingga 70 tahun atau lebih dari usia subur wanita yang dapat mengandung hingga usia 50 tahun. Di sisi lain daya seksual yang dimiliki laki-laki lebih besar dibandingkan isteri yang selalu datang kepadanya masa-masa yang melemahkan aspek seksualnya, yaitu kehamilan, nifas, haid, sakit, dan seterusnya.



4.4. Isteri Sukar Dididik



TERDAPAT juga wanita yang sukar untuk dibentuk dan dididik sikapnya supaya menjadi lebih baik dan positif. Sikapnya yang sering menimbulkan kemarahan suami dan sukar untuk dibentuk tidak mampu diubah walaupun berbagai usaha telah dijalankan.



4.5. Senantiasa Musafir

LAKI-laki sering bepergian jauh (lama) dan tidak dapat membawa isterinya setiap kali melakukan musafir dan tidak mampu bersabar dalam perantauannya tanpa isterinya, maka pernikahan dengan isteri kedua adalah lebih baik daripada melampiaskan kecenderungan seksualnya dengan cara haram.

Berkenaan dengan alasan-alasan darurat yang membolehkan poligami, menurut Abdurrahman (2002: 192) setelah merangkum pendapat fuqaha, setidaknya ada delapan keadaan, yakni: (1) isteri mengindap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan; (2) isteri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tak dapat melahirkan; (3) isteri sakit ingatan; (4) isteri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai isteri; (5) isteri memiliki sifat buruk; (6) isteri minggat dari rumah; (7) ketika terjadi ledakan perempuan dengan sebab perang misalnya; (8) kebutuhan suami beristeri lebih dari satu, dan jika tidak menimbulkan kemudharatan di dalam kehidupan dan pekerjaannya.





5. Dalil-Dalil Disyariatkan Poligami



AGAMA ISLAM telah mengikis kekacauan yang terjadi pada umat terdahulu di mana poligami tidak dibatasi oleh jumlah tertentu. Ketika Islam datang, para lelaki Kabilah Tsakif, banyak yang memiliki sepuluh orang isteri, antara lain seperti: Mas’ud bin Umar, Urwah bin Mas’ud, Sufyan bin Abdullah, Ghailan bin Salamah, Abu Agil Mas’ud bin Amr, Urwah bin Mas’ud bin Mu’tib. Lalu Islam membatasinya hanya empat isteri saja, sehingga ketika masuk Islam dan syariat poligami telah diturunkan, Ghailan, Sufyan dan Abu ‘Agil memilih empat orang isteri mereka dan menceraikan enam yang lain. Sedangkan ‘Urwah masuk Islam lalu wafat sebelum syariat poligami diturunkan.

Dalil disyariatkan poligami berasal dari Al-Qur’an, Sunnah Rasullullah Saw dan Ijma’.



5.1. Dalil Dari Al-Qur’an

BERIKUT ini asbabulnuzhul dari QS An-nisa’ ayat 3. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Urwah bin Az-zubir, ia menuturkan bahwa: ”Aku bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah SWT, yaitu Surah An-Nisa’ ayat 3. Ia menjawab: Wahai keponanku, anak perempuan yatim ini berada dalam pemeliharaan walinya, sedangkan harta perempuan yatim ini berada dalam pemeliharaan walinya. Rupanya harta dan kecantikannya mengagumkan walinya, sehingga berhasrat untuk menikahinya dengan tanpa berlaku adil dalam memberikan mahar kepadanya sebagaimana yang diberikan kepada selainnya. Karena demikian mereka dilarang menikahi perempuan itu, kecuali bila berlaku adil dan memberikan mahar yang layak, serta mereka diperintahkan supaya menikahi perempuan yang mereka senangi selain mereka (perempuan yatim yang berada dalam perwaliannya),’Urwah menuturkan setelah ayat ini (turun), lalu turunlah firman Allah SWT (Anonim, 1996: 78):

"Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang perempuan, katakanlah: “Allah SWT memberi fatwa kepadamu tentang mereka dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al-qur’an[2] (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka[3]sedang kamu ingin mengawini mereka[4] dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah dan Allah SWT menyuruh kamu supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahuinya.



Karena salah seorang dari kalian tidak suka menikahi perempuan yatim yang menjadi perwaliannya, jika harta dan kecantikan kurang, maka dilarang menikahi perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikan kecuali dengan adil.

Ayat di atas memberikan lelaki untuk beristeri tidak lebih dari empat, huruf wawu pada ayat ini berfungsi sebagai badal (ganti), artinya nikahilah tiga orang kalau tidak dua orang dan empat orang kalau bukan tiga orang (Al-Qurthubi, 1993: 13).

Adapun pendapat minoritas yang disebutkan oleh Imam Qurthubi yaitu seorang muslim boleh menikah dengan sembilan wanita sekaligus, mereka berdalil dengan firman Allah ayat di atas. Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa jumlah isteri yang halal dinikahi yaitu dua, tiga atau empat, dengan menggunakan huruf wawu yang berfungsi membolehkan penjumlahan antara bilangan-bilangan tersebut (sembilan). Al-Qurthubi mengatakan bahwa sebagian Mazhab Zhahiri bahkan membolehkan seorang lelaki beristeri delapan belas orang. Argumentasi mereka adalah kata jamak matsna (dua-dua) sama dengan empat, tsulatsa (tiga-tiga) sama dengan enam dan ruba’ (empat-empat) berarti delapan dan bila dijumlahkan menjadi delapan belas. Kedua pendapat ini tidak berdasarkan kaidah ilmiah dan bertentangan dengan hadist-hadist yang membatasi hanya empat orang isteri seperti perintah Rasul kepada orang-orang yang baru masuk Islam dan memiliki isteri lebih dari empat (Al-Qurthubi, 1993: 13).

Pernikahan dengan sembilan isteri hanya dikhususkan untuk Rasulullah Saw karena pada diri Rasul terdapat Ma’mun (kepercayaan) (Zakaria, tt, 222). Allah berfirman dalam QS Al-Ahzab ayat 21 (Anonim, 1996: 336) : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasululah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang mengharap (rahmat) Allah SWT dan (kedatangan) hari qiamat dan dia banyak menyebut Allah SWT“.

Perlu juga digarisbawahi bahwa ayat ini, tidak membuat satu peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh syariat agama dan adat-istiadat sebelum ini. Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami, dan itupun merupakan pintu darurat kecil yang hanya dilalui amat diperlukan dengan syarat yang tidak ringan (Shihab, 2005: 200).



5.2. Dalil dari Sunnah

QAISBIN Al-Harits ra, beliau berkata: “Ketika masuk Islam, saya memiliki delapan isteri, saya menemukan Rasulullah Saw dan menceritakannya keadaan saya, lalu Beliau bersabda: “Pilih empat di antara mereka.” (Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah No. 1953).

Hadist kedua ialah: Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam dalam keadaan beristeri sepuluh orang yang ia nikahi di masa Jahiliyah (sebelum masa Islam). Mereka semua masuk Islam bersamanya. Dan hadist-hadist lain yang cukup banyak jumlahnya.



5.3. Dalil dari Ijma’

KESEPAKATAN kaum muslimin tentang kehalalan poligami baik melalui ucapan atau perbuatan mereka sejak masa Rasulullah Saw sampai hari ini. Para sahabat utama Nabi melakukan poligami seperti Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, Muawiyyah bin Abi Sufyan, dan Muaz bin Jabal radhiyallahu ‘anhum. Poligami juga dilakukan oleh ahli figh tabi’in (generasi pascasahabat Nabi), dan lain-lain yang menikah lebih dari seorang isteri, kesimpulannya bahwa generasi salaf (terdahulu) dan khalaf (kini) dari umat Islam sepakat melalui ucapan dan perbuatan mereka bahwa poligami itu halal.

Jalaluddin Al-Mahalli menukil dari perkataan Imam Nawawi dalam kitabnya: ”Kebolehan seorang lelaki yang merdeka memiliki empat perempuan sedangkan hamba sahaya diizinkan menikahi dua perempuan.” (Jalaluddin, tt, 245).



6. Hukum Poligami



SEBAGAIMANA telah kita ketahui bahwa hukum menikah adakala wajib, sunat, atau makruh sesuai keadaan seseorang. Kita dapat melakukan hal yang sama terhadap poligami, dan kemampuan memenuhi hak-hak isterinya. Pada dasarnya, poligami itu hukumnya mubah (boleh) seperti yang diisyaratkan oleh firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa’ ayat 3. Ayat ini menjelaskan kehalalan poligami dengan syarat dapat berlaku adil. Jika syarat ini tidak dapat dipenuhi di mana suami yakin bahwa ia akan melakukan kezaliman dan menyakiti isteri-isterinya, dan tidak dapat memenuhi hak-hak mereka dengan adil, maka poligami menjadi haram. Jika ia kemungkinan besar menzalimi salah satu isterinya, maka poligami menjadi makruh. Namun jika ia yakin akan terjatuh kepada perbuatan zina maka menjadi wajib atasnya (Arij, 2003: 32).





7. Syarat-Syarat Poligami



PENETAPAN berlakunya poligami oleh Islam beserta dengan batasan-batasan tertentu dengan syarat-syarat sendiri, sebenarnya mempunyai tujuan jangka panjang yaitu untuk meratakan kesejahteraan keluarga dan untuk menjaga ketinggian nilai di kalangan masyarakat Islam, seterusnya meningkat budi pekerti kaum muslimin. Berikut adalah syarat-syarat berpoligami yang telah digariskan oleh syara’, yaitu:



7.1. Pembatasan Jumlah Isteri

AL-Jurjani dalam kitabnya “Hikmah Al-Tasyri’ Wafasafatuhu” menjelaskan ada tiga hikmah yang dikandung oleh syariat poligami. Pertama, kebolehan poligami yang dibatasi sampai empat orang menunjukkan bahwa manusia sebenarnya terdiri dari empat campuran di dalam tubuhnya; Kedua, batasan empat juga sesuai dengan jenis mata pencaharian laki-laki; pemerintahan, perdagangan, pertanian dan industri; Ketiga, bagi seorang suami yang memiliki empat orang isteri berarti ia mempunyai waktu senggang tiga hari dari merupakan waktu yang cukup untuk mencurah kasih sayang (Ali Ahmad, tt, 10).

Kita tentu boleh sepakat boleh tidak dengan hikmah yang digali oleh Al-Jurjawi tersebut, namun setidaknya pernyataan di atas cukup sebagai bukti betapa para ulama fikih selalu mencoba melakukan rasionalisasi agar poligami bisa diterima dengan baik. Begitu banyak hikmah yang dapat digali dari syariat poligami, sama juga banyaknya kelemahan yang terdapat di dalam poligami. Adalah Al-Athar dalam bukunya “Ta,addud Al-Zawzat” mencatat empat dampak negatif dari poligami: Pertama, poligami dapat menimbulkan kecemburuan di antara para isteri pertama poligami; Kedua, menimbulkan rasa kekhawatiran isteri kalau-kalau suami tidak bisa bersikap adil dan bijaksana; Ketiga, anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang berlainan sangat rawan untuk terjadinya perkelahian, permusuhan dan saling cemburu; Keempat, kekacauan dalam bidang ekonomi (Kahiruddin, 1996: 100).

Bisa saja pada awalnya suami memiliki kemampuan untuk berpoligami, namun bukan mustahil suatu saat akan mengalami kebangkrutan, maka yang akan menjadi korban akan lebih banyak (Amiur Nuruddin, 2004: 161).

Imam AL-Ghazali berkata dalam “Ihya Ulumid-din”: “Sebaiknya suami menggauli isterinya sekali setiap empat malam, karena itu paling proporsional, mengingat jumlah isteri maksimal empat orang, tapi itu boleh ditambah atau dikurangi sesuai kebutuhan isteri dalam menjaga kesucian dirinya, karena menjaga kesucian isteri tidak menuntutnya, karena tuntutan dalam masalah ini sangat sulit, juga dalam memenuhi tuntutan tersebut.” (Al-Ghazali, tt, 109).





7.2. Adil Terhadap Isteri



ALLAH SWT memerintahkan laki-laki yang ingin berpoligami agar berlaku adil (QS An-Nisa’ ayat 3). Orang yang mencermati ayat ini akan sampai kepada pendapat bahwa Al-Qur’an menjadikan perasaan ragu tidak bisa berlaku adil sebagai penghalang poligami dan hanya diperbolehkan jika terdapat keyakinan mampu berlaku adil terhadap semua isteri (Arij, 2003: 34).

Berkenaan dengan syarat berlaku adil, hal ini sering terdapat perdebatan yang panjang tidak saja di kalangan ahli hukum, akan tetapi juga di masyarakat. Apa sebenarnya yang dimaksud berlaku adil dan dalam hal apa suami harus berlaku adil?

Muhammad Husien al-Zahabi, mendefinisikan “adil” sebagai adanya persamaan dalam memberikan nafkah dan pembagian hari terhadap sesama isteri dalam batas yang mampu dilakukan oleh manusia. Selanjutnya Muystafa al-Sibai mengatakan bahwa keadilan material seperti yang berkenaan dengan tempat tinggal, pakaian, makanan, minum, perumahan dan hal-hal yang bersifat kebutuhan material isteri.

Jika disederhanakan, pandangan normatif Al-Quran yang selanjutnya diadopsi oleh ulama-ulama fikih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki oleh suami: Pertama, seorang lelaki yang akan berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya isteri yang dinikahi, kedua seorang lelaki harus memperlakukan semua isterinya dengan adil (Abdurrahman, 2002: 192).

Jelaslah syarat-syarat di atas sangat longgar dan memberikan keleluasaan yang cukup luas terhadap suami untuk memutuskan apakah ia akan melakukan poligami atau tidak. Jadi titik tekannya pada suami (laki-laki), sesuatu yang dikritik oleh feminis-feminis Islam. Memang dalam pandangan pandangan fukaha’, kebolehan poligami dipandang selesai. Beberapa syarat yang melekat suami diupayakan untuk diringankan bobotnya, seperti dijelaskan penulis-penulis hukum Islam. Syarat adil yang sejatinya mencakup fisik dan nonfisik, oleh Syafi’i dan ulama-ulama Syafi’iyyah dan orang-orang yang setuju dengannya diturunkan kadarnya keadilan fisik dan material saja. Lebih dari itu, para ulama juga mencoba untuk menggali hikmah-hikmah yang tujuannya adalah untuk melakukan rasionalisasi terhadap praktik poligami (Amiur, 2004: 164).



Justru di sinilah masalahnya, para ulama fikih cenderung memahami keadilan di sini secara kuantitatif yang bisa diukur dengan angka-angka. Apakah keadilan kualitatif ini mungkin dapat diwujudkan dan bagaimana pula cara mengukurnya? Padahal sebagaimana yang difatwakan Abduh, keadilan di sini yang disyaratkan Al-Qur’an adalah keadilan yang bersifat kualitatif seperti kasih sayang, cinta dan perhatian yang semuanya tidak bisa diukur dengan angka-angka. Apakah keadilan kualitatif ini mungkin diwujudkan dan bagaimana mengukurnya?

Sebagian besar ahli hukum Islam menyadari bahwa keadilan kualitatif ini sesuatu yang sangat mustahil untuk diwujudkan.

Abdurrahman Al-Jaziri (Abdurrahman, tt: 239) di dalam kitabnya menulis bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kewajiban bagi orang-orang yang berpoligami karena sebagai manusia wajar tertarik pada salah seorang isterinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang berada di luar batas kontrol manusia.

Kompromi di antara dua ayat: QS An-Nisa’ ayat 3 dan QS An-Nisa’ ayat 129, bahwasanya Allah SWT membolehkan menikahi empat orang isteri, tetapi dengan syarat harus berlaku adil dalam perbuatan dan perkataan.

Adapun adil dalam cinta di antara mereka, maka kalian tidak akan mampu berbuat adil, walaupun kalian menginginkannya. Dan Nabi memberi jatah dan berbuat adil, lalu beliau berkata: “Ya Allah, inilah pembagianku pada apa yang engkau miliki, maka janganlah engkau mencelaku pada apa yang engkau miliki, sedangkan aku tidak” (Sukandi, 1998: 388).

Makna ucapan tersebut, bahwa beliau tidak memiliki apa yang ada dalam hatinya berupa cinta kepada sebagian isteri yang lebih mendalam daripada cintanya kepada yang lain. Sebab, hati adalah kepunyaan Allah, dia memalingkan bagaimana yang ia sukai.

Adapun jika tidak dapat berbuat adil dalam menjatah giliran malam, harta dan selainnya, maka sebaiknya dan bahkan harus mencukupkan satu wanita saja, jika tidak, maka dia termasuk golongan yang disinyalir oleh Rasullullah Saw: “Barang siapa yang mempunyai dua orang isteri lalu cenderung kepada salah satu dari keduanya dibandingkan yang lainnya, maka dia datang pada hari qiamat dengan menarik salah satu dari kedua pundaknya dalam keadaan jatuh atau condong.”[5]





7.3. Mampu Memberi Nafkah



PARA Ulama sepakat bahwa suami wajib memberi nafkah kepada isterinya dengan dalil-dalil dari Al-Qura’an, QS Al-Baqarah ayat 233 (Anonim, 1996: 66): “Dan kewajiban yang diberi anak (ayah) memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.”

Ayat ini mewajibkan suami memberi nafkah kepada isteri yang baru melahirkan, padahal pada saat itu tidak dapat menggaulinya. Hal ini menunjukkan bahwa ketika tidak dalam keadaan demikian, maka nafkah lebih wajib lagi.

Para Ulama berbeda pendapat tentang kadar nafkah, jumhur atau mayoritas ulama (Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hambaliyyah) mengatakan bahwa kadar nafkah ditentukan oleh kecukupan isteri. Mereka mengambil dalil dari Al-Qur’an, Sunnah, Qias (Arij, 2003: 237).

Seseorang tidak diperbolehkan maju menikah dengan seorang perempuan atau lebih jika ia tidak mampu memberi nafkah secara berkesinambungan, karena Rasulullah Saw bersabda: “Wahai para pemuda, barang siapa yang telah mampu menikah di antara kalian maka segeralah menikah, karena ia lebih dapat menjaga pandangan dan kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, hendaklah berpuasa, karena puasa itu perisai”.[6]





7.4. Wanita yang Dikumpulkan Tidak Bersaudara



ISLAM menetapkan poligami adalah untuk memelihara keluarga muslim dan kaum perempuan. Dengan demikian Islam melarang lelaki mengumpulkan kakak dengan adik, ibu dengan anak perempuannya atau seorang perempuan dengan saudara ayahnya atau saudara ibunya dalam satu masa. Firman Alllah SWT dalam QS Surat An-Nisa’ ayat 22 (Anonim, 1996: 64): “Dan janganlah kamu menikahi perempuan yang telah diperisterikan bapakmu…”

Larangan ini bertujuan untuk memelihara ikatan silaturrahmi sesama anggota keluarga, menghindari dari timbulnya perasaan cemburu dan rasa iri sesama saudara. Padahal ikatan dan jalinan kasih sayang telah lama terbina. Di samping itu juga dapat meramaikan dan memperluas ikatan persaudaraan.



Catatan Penutup

BERDASARKAN uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sampai sekarang poligami telah menjadi hal yang kontroversial di tengah masyarakat kita. Perbuatan seorang laki-laki mengumpulkan dalam tanggungannya lebih dari satu isteri ini menjadi perdebatan pro dan kontra yang tak kunjung selesai. Landasan Firman Allah SWT yang memberikan legitimasi kebolehannya pun tak cukup menghentikan polemik seru ini. Penolakan baik halus maupun kasar dilontarkan dengan beragam cara dan metode. Tujuannya adalah bagaimana kebijakan Allah SWT yang satu ini semustahil mungkin kalau bisa dinihilkan untuk digunakan. Sebahagian yang tidak setuju sedemikian ektrim sampai menolaknya dengan harga mati.

Dalam bukunya “Al- Mar’ah al-Muslimah Wafighud-Dakwah Ilallah”, Ali Abdul Halim menegaskan bahwa poligami bukan bagian dari ciptaan Islam. Di sisi lain semangat berpoligami kadangkala mengabaikan syarat utama yang menjadi tuntutan yakni keadilan, sehingga poligami ini memberikan stigma tidak baik yang membuat para penentangnya makin mantap dalam mengkampanyekan bahwa poligami adalah kemustahilan dan bahkan tindak kejahatan terhadap wanita.

Bagaimanapun poligami tetap akan diperdebatkan. Sebenarnya masalah tidak terlalu berat dan tidak perlu menempatkannya sebagai sesuatu yang membahayakan kehidupan wanita, yang jelas poligami merupakan syariat agama yang jelas keberadaannya dalam Al-Qur’an, terlepas bagaimana ayat tersebut diterapkan dan tinggal lagi masalahnya dalam kondisi yang bagaimana dan oleh siapa syariat poligami itu diterapkan. Dan perlu dimengerti bahwa poligami ini tidak diwajibkan atau dianjurkan, akan tetapi hanya berbicara tentang kebolehannya saja dan diikuti dengan syarat-syarat yang ketat.

Jika seseorang memiliki kesanggupan dan beristeri lebih dari satu merupakan kebutuhan dirinya agar tetap dapat memelihara muru'ah dan juga dimotivasi untuk membantu. Selama ia dapat berlaku adil, maka ia boleh melakukan poligami. Sebaliknya orang yang tidak memiliki syarat-syarat yang pantas, maka poligami merupakan sesuatu yang dihindari. Dengan demikian, sebenarnya poligami merupakan sesuatu yang harus dihindari. Dengan demikian poligami merupakan sesuatu yang pribadi dan kondisional adalah tidak tepat jika poligami digeneralisir, seolah-seolah ia syariat yang berlaku umum dan dapat dilaksanakan oleh semua orang.





Referensi





Abdurrahman, Arij as-Sanan 2003, Al-‘Adlu Baina Az-Zaujaat, Penerjemah Ahmad, Sahal Hasan, PT. Global Media Cipta Publising, Jakarta.



Abdurrahman, I. Doi, 2002, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), Rajawali Press, Jakarta.



Abu Hafs, Usamah bin Kamal bin Abdi Razzag, 2005, Isyaratun Nisaa’ minal alif Ilal Yaa, Penerjemah Saikhu, Ahmadh, Pustaka Ibnu Katsir, Bogor.



Akmal, Azhari Tarigan dan Amiur Nuruddin, 2004, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta.



Al-Ghazali, Abu hamid Muhammmad bin Muhammmad, tt, Ihya Ulumu al-Din, Al-Fikr, Beirut.



Al-Jaziri, Abdurrrahman, tt, Kitab al-figh ‘ala Mazahib al-arba’ah, Dar al-Fikr, Beirut.



Al-jurjawi, Ali Ahmad , tt, Hikmah al-Tasyri’ Wafasatuhu, Dar Al-Fikr, Beirut.



Al-Mahalli, Jalaluddin, tt, Syarh al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin, Dar al-Fikr, Beirut.



Anonim, 2002, Kamus Dewan Bahasa, Edisi Ketiga, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur.



Anonim, AL-Qur’an al-karim dan Terjemahannya, 1996, Karya Toha Putra, Semarang.



Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad, 1993, Al-Jami’lil Ahkam Al-Qur’an, Dar Al-kutub Al-Limmiyyah, Bairut.



Al-Tirmidzi, Muhammad bin Isa bin Saurah, 1414 H/1995 M, Sunan al-Tirmizhi Dar al-Fikr, Beirut.



Ali Engineer, Asghar, 2005, Pembebasan Perempuan, Pustaka Ibnu Engineer, Bogor.



Ibnu Hajar, Ahmadh bin Ali, 1407 H \1987 M, fath al-Bari Syarh Shahih Bukhari, Dar al-Rayyyan li al_Turats, Kairo.



Ibnu Majah, Abu Abdillah Muhammad al-Qazwaini, 1416 H/ 1996 M, Sunan Ibnu Majah, Dar al-Ma’rifah, Beirut.



Muhammad, Zaleha, 2002, Analisis Poligami Menurut Persfektif Islam, Lhohprint sdn.bhd, Selangor.



Nasohah, Zaini, 2000, Poligami Hak Keistemewaan Menurut Syariat Islam, Percetakan Cergas (M) sdn.bhd, Kuala Lumpur.



Nasution, Kahiruddin, 1996, Riba dan Poligami, Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, Pustaka Pelajar, Yokyakarta.



Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, 2004, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta.



Shihab, M. Quraish, 2005, Wawasan Al-qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai persoalan Umat, Mizan, Bandung.



Syarif Sukandi, Muhammad, 1998, Terjemahan Bulughul Maram: Figh Berdasarkan Hadist, Al-Haramain, Singapore.



Zakariya, An-shari, tt, Syarkawi ‘ala Tahrir, Jilid II, Bungkul Indah, Surabaya.



----------------------------------------------





[1]Ibnu Majah, Abu abdillah Muhammad al-Qazwaini, Sunan Ibni Majah (Beirut: Dar al- Ma’rifah, 1996) HR. Ibnu Majah (No.1863) kitab an-Nikah. Dan di dalamnya terdapat Thalhah bin Amr bin Utsman, dia adalah matruk.



[2] Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.



[3] Maksudnya ialah: pusaka dan maskawin.



[4] Menurut Adat Arab Jahiliyyah, seorang wali berkuasa atas wanita yatim yang dalam asuhannya dari berkuasa atas akan hartanya. Jika wanita yatim itu cantik dikawin dan diambil hartanya dan jika wanita yatim itu buruk rupanya, dihalangi kawin dengan laki-laki lain supaya dia tetap dapat menguasai hartanya.



[5] Al-Thirmizhi, Muhammad bin Isa bin saurah , Sunan Al-tirmizhi ( Beirut Dar-Fikr1414 H \1994 M. HR At-Thirmizhi (No.1141), kitab An-Nikah, ia mengatakan: “Aku tidak mengetahui hadis ini marfu’ kecuali dari Hadist Hamman. Hamman adalah Perawi Tsiqat dan Hafizh.” Semua perawinya Tsiqat (terpercaya).



[6] Muttafaq ‘alaih (Bukhari, kitab puasa bab puasa bagi yang takut dirinya terus membujang): Muslim, kitab nikah bab anjuran menikah bagi yang berhasrat.
{KAUM SARUNGAN}

Baca Lanjutannya......

Hukum Mu`allim dan Muta`allim Mengambil Zakat

(ولو استغل بعلم) شرعى كما فى روضة وأصلها (والكسب يمنعه) من الإشتغال به (فقير) فيشتغل بعلم ويأخذ (ولو استغل بالنوافل فلا) اى فليس بفقير فيكسب ولا يستغل بها والفرق ان الإستغال بالعلم فرض كفاية. (محلى ومتنه, 3. 196)

Jika seseorang mengkususkan diri untu mencari ilmu syar’i, penambahan syar’i sebagai yang ditambah dalam Raudhah wa ashliha, yang tidak sempat ia berusaha maka ia dianggab fakir, maka ia boleh menuruskan mencari ilmu dan mengambil harta zakat. Dan bila ia mengkhususkan diri untuk melakukan hal-hal yang disunatkan, maka ia tidak dianggab fakir dan harus berusaha dan tidak boleh mengkhususkan diri untuk hal-hal yang sunat, karena mencari ilmu hukumnya fardhu kifayah yang berbeda dengan pekerjaan yang lain yang hukumnya sunat.



(قوله بعلم شرعى) ولو مما يطهر الباطن كتصوف ومثل العلم آلته كالنحو كذا حفظ القرآن لاتلاوته (قليوبى, 3. 196)

(kata mushannif بعلم شرعى ) Walau mencari ilmu untuk membersihkan bathin seperti seperti ilmu tasawuf. Termasuk dalam ilmu Syar`i adalah ilmu penunjang ilmu Syar`i seperti sastra demikian juga menghafal Al-Quran, tidak termasuk membacanya (Qalyuby, III. 196)



(قوله ويأخذ) اى ما يكفيه ويكفى ممونه الازمة نفقته كأبيه وولده وعبده المحتاج اليه لازجته قاله شيخنا رملى (قليوبى, 3. 196)



(Kata Musannif : ويأخذ ) maksudnya boleh mengambil kadar yang mencukupi untuk kebutuhan diri sendiri dan kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya seperti orang tuanya, anaknya dan budak yang ia butuhkan. Tidak termasuk untuk kebutuhan isterinya, demikianlah pendapat guru kita Ramly. (Qalyuby, III. 169)



تنبيه ... وقد صرح به فى الأنوار فقال ولو قدر على كسب بالوراقة اوغيرها وهو مشتغيل بالتعلم القرآن او علم الذى هو فرض كفاية او تعليمه واشتغال بالكسب يقطعه عن التعلم والتعليم حلت له زكاة (ولو اشتغل بالنوافل) للعبادة وملازمة الخلوات فى المدارس ونحوها (فلا) يكون فقيرا وادعى فى المجموع الإتفقاق عليه لأن الكسب وقطع الطمع عما فى أيدى الناس أولى من اقبال على النوافل مع الطمع والفرق بين المشتغل بهذا وبين المشتغل بعلم وقرآن بأن ذلك مشتغل بما هو فرض كفاية بخلاف هذا ولأن النفع هذا قاصر عليه بخلاف هذا (مغنى المحتاج ومتنه, 3. 107)



Tanbīh. Imam Yusuf Irdabily telah menjelaskan dalam kitab al-Anwar dengan kata beliau ; Jika seseorang mampu untuk berusaha dengan menjual kertas atau dengan cara lainnya pada saat ia sedang belajar Al-Quran atau ilmu lain yang hukumnya fardhu kifayah ataupun mengajarinya, namun jika ia berusaha dapat menghalanginya untuk belajar dan mengajar maka halal terhadapnya mengambil harta zakat (jikalau seseorang megkhususkan dirinya untuk mengerjakan sunat) dan mengasingkan diri di madāris (ma`had) atau seumpamanya (maka ia tidak) dianggap fakir. Pengarang kitab al-Majmu` (Imam Nawawy) mengatakan pendapat ini telah disepakati oleh seluruh ulama karena berusaha dan memalingkan diri dari loba terhadap apa yang ada pada manusia lebih utama dari pada melakukan ibadah sunat diiringi rasa suka terhadap apa yang ada pada manusia. Perbedaannya yaitu belajar atau mengajar hukumnya fardhu kifayah berbeda dengan amalan sunat dan juga mamfaat dari amalan sunat hanya untuk dirinya berbeda dengan belajar dan mengajar. (Mughny al-Muhtaj wa Matnuh, III. 107)

قوله (كفايته بنفقة قريب) اى أصل او فرع فلو لم تكفيه فله أخذ تمام كفايته ولو من زكاة المنفق عليه من زوج او قريب ومنعهم دفع زكاته لمن تلزمه نفقته يحمل على من يكفيه النفقة ولو امتنع قريب من الإنفاق واستحيا من رفعه الى الحاكم كان له الأخذ لأنه غير مكفى (بجيرمى, 3. 310)



(Kata Musannif ; كفايته بنفقة قريب , kebutuhannya mencukupi dengan nafakah dari kerabatnya) yang dimaksud dengan kerabat adalah Ashal (ayah, kakek maka ke atas) dan Furu` (anak, cucu maka ke bawah) Jika nafakah dari mereka tidak memenuhi kebutuhannya maka ia boleh mengambil kebutuhannya dari zakat secukupnya walau dari harta zakat orang yang memberi nafakah terhadapnya, yaitu suami, atau “kerabat”. Pendapat ulama yang mengatakan tidak boleh memberi zakat kepada orang yang wajib dinafakahinya maksudnya adalah orang yang telah cukup kebutuhannya dengan pemberian mereka. Jika “kerabat” tidak mau memberi nafkah untuknya dan ia malu untuk mengadukan kepada hakim maka ia boleh mengambil zakat karena tidak cukup kebutuhannya. (Bujairimy, III. 310)

(لا) اشتغاله (بعلم شرعى) يأتي منه تحصيله (والكسب يمنعه) منه لأنه فرض كفاية (فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب, 3. 310)

(Tidak) “terhalang untuk mengambil zakat” kesibukan seseorang (dengan ilmu agama) yang hasil kesibukan tersebut dapat bermamfaat untuk orang lain (sedangkan berusaha dapat menghalangi kesibukan) nya, karena kesibukannya adalah fardhu kifayah. (Fathu al-Wahab bi Syarhi Manhaj ath-Thullab, III. 310)

ويثتسنى من الأول ما لوكان مشتغلا بعلم الشرعى ويرجى منه النجابة والكسب يمنعه فتجب كفايته حينئذ ولا يكلف الكسب وفى حاشية الجمل وقع السؤال عما لو حفظ القرآن ثم نسيه بعد البلوغ وكان الإشتغال بحفظه يمنعه من الكسب هل يكون ذلك كإشتغاله بالعلم ام لا ؟ والجواب عنه ان الظاهر ان يقال فيه ان تعين طريقا بأن تتيسر فى غير أوقات الكسب كان كالإشتغال بالعلم والا فلا اهـ (اعانة الطالبين,4. 98)

Dikecualikan dari yang pertama (seorang anak yang sudah baligh dan sanggup untuk berusaha) jika seseorang bergelut dengan ilmu syar`i dan ada kemungkinan akan dicapai sebuah keberhasilan sedangkan usaha dapat menghalanginya dari hal tersebut maka pada saat itu ia boleh mengambil harta zakat dan tidak dibebankan ia untuk berusaha. Terdapat dalam Hasyiyah al-Jamal sebuah pertanyaan tentang orang yang telah menghafal Al-Quran kemudian ia lupa, sedangkan jika ia mencari nafkah mengakibatkan tidak ada waktu untuk menghafal kembali, samakah permasalahan ini dengan kesibukan mencari ilmu agama ataupun tidak? Jawabannya adalah menurut pendapat yang Dhahir jika ia mudah untuk menghafal kembali dengan tidak berusaha maka hal ini sama dengan kesibukan mencari ilmu, jika tidak maka tidak sama. Demikian (I`anah ath-Thalibin, IV. 98)
{Hasil Putusan Lajnah Bahtsul Matsa-il MUDI Mesjid Raya} Dikutip dari

Baca Lanjutannya......