PERKAWINAN merupakan suatu ikatan yang sakral dalam membentuk sebuah keluarga. Pada dasarnya, semua agama di dunia ini menganjurkan penganutnya untuk melaksanakan perkawinan yang akan mengatur kehidupan serta pergaulan laki-laki dan wanita secara sah. Asas perkawinan yang disyariatkan oleh Islam adalah perkongsian hidup yang kekal dalam suasana rumah tangga yang harmonis, bukan sekedar memenuhi tuntutan nafsu naluri semata-mata. Islam menetapkan peraturan-peraturan yang lengkap termasuk dalam hal poligami atau mempunyai isteri lebih dari pada satu orang dalam satu waktu. Poligami merupakan salah satu persoalan yang kontroversial dan paling banyak dibicarakan. Di satu sisi, poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan jender. Para penulis Barat sering mengklaim bahwa poligami adalah bukti ajaran Islam dalam bidang perkawinan yang sangat diskriminatif terhadap wanita. Sementara pada sisi lain, poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi. Persoalan ini perlu diperjelas agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan. Kajian berikut ini mencoba melihat pendapat sekitar poligami.
1. Pengertian Poligami
DALAM Kamus Dewan Bahasa (2002, 1049), poligami, bermakna: amalan beristeri lebih daripada satu orang pada masa yang sama.
Ada juga yang mendefinisikan perbuatan seorang laki-laki mengumpulkan tanggungannya dua sampai empat isteri, tidak boleh lebih.
Dalam Bahasa Arab, poligami disebut ta’addad (ﺘﻌﺪﺩ) berarti bilangan manakala perkataan al-zawjat (ﺍﻠﺯﻭﺠﺎﺖ) diambil dari perkataan al-zawjat (ﺍﻠﺯﻭﺟﺔ) yang berarti isteri. Dua perkataan tersebut apabila digabungkan menjadi arti jama’ yaitu banyak isteri. Maka poligami dapat dikatakan sebagai perkawinan melebihi seorang isteri, berbeda dengan monogami yang mempunyai arti perkawinan dengan seorang wanita sahaja. Sedangkan poliandri yaitu wanita yang bersuami lebih dari seorang dalam suatu masa (Zaini, 2000: 2).
2. Sejarah Poligami
2.1. Poligami Menurut Yahudi
DISEBUTKAN dalam Taurat bahwa Nabi Sulaiman memiliki 700 isteri dari kalangan wanita merdeka dan 300 isteri dari hamba sahaya. Ibrahim, mempunyai dua orang wanita yaitu Sarah dan Hajar. Abbas Mahmud Al-Aggad dalam bukunya “Liaadzal Hujum ‘Aala Ta’addud az- Zaujat” berkata , ”Tidak ada larangan poligami di dalam Taurat dan Injil, bahkan hal itu dibolehkan dan dilakukan oleh para nabi sendiri, sejak masa Nabi Ibrahim as hingga kelahiran Nabi Isa as (Abu Hafs, 2005: 457).
2.2. Poligami Menurut Nashara dan Era Sebelum Islam di Lingkungan Masyarakat Arab
POLIGAMI sebenarnya sudah terjadi secara meluas pada kebanyakan kelompok bangsa semenjak sebelum kedatangan Islam, di antaranya bangsa Ibrani, Arab Jahiliyah dan Cisilia, kemudian menyebar ke Rusia, Poland, dan Yugoslavia. Tidak ketinggalan di sini adalah orang Jerman dan Saxon, kemudian keturunan mereka menghuni negara-negara seperti Jerman, Belanda, Swedia, Norway, dan lain-lain. Oleh karena itu, kurang tepat jika dikatakan bahawa Islamlah yang mula-mula membawa sistem poligami. Hanya saja poligami yang dianjurkan oleh Islam mempunyai batas-batas serta syarat-syarat tertentu.
Disebabkan tujuan poligami dalam Islam adalah untuk memelihara martabat wanita, bukan menzalimi mereka. Selain daripada itu, sistem poligami hingga hari ini, sebenarnya masih tersebar di kalangan beberapa bangsa yang bukan Islam. Umpamanya orang asli Amerika, India, China, dan Jepang. Pada hakikatnya Agama Kristian juga tidak melarang poligami, karena Isa datang untuk membenarkan syariat Musa as, Allah SWT dalam QS As-Shaff ayat 6 berfirman (Anonim, 1996: 440), yang artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Isa putera Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberikan khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad) maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti nyata, mereka berkata: ini adalah sihir yang nyata” (Surah As-Shaff : 6).
Problematika sekarang kenapa penganut Kristian di kalangan bangsa Eropah dahulu mengamalkan perkawinan dengan satu wanita saja (monogami)? Ini adalah disebabkan sebahagian bangsa Eropah adalah penyembah berhala, kemudiaan sampai agama Kristen. Mereka terdiri dari orang Yunani dan Romawi yang telah memegang kebiasaan larangan terhadap poligami, walaupun mereka telah menganut agama Kristen, kebiasaan dan adat nenek moyang mereka masih dipertahankan.
Dengan itu juga bermakna sistem monogami yang mereka jalankan bukan berasal dari agama Kristen yang mereka anut, tetapi ia merupakan warisan agama sebelumnya. Bertitik tolak dari itu, Gereja menetapkan larangan poligami dengan memasukkan larangan sebagai peraturan agama mereka. Sedangkan dalam kitab injil sendiri, tidak sedikit pun menerangkan tentang pengharaman sistem ini (Abu Hafs, 2005: 458).
Poligami memiliki akar sejarah yang cukup panjang sepanjang sejarah peradaban itu sendiri, sebelum Islam itu datang ke Jazirah Arab. Pada masa itu dapat disebut poligami tak terbatas, lebih dari itu tidak ada gagasan keadilan di antara para isteri, suamilah yang menentukan sepenuhnya siapa yang paling dia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak terbatas, para isteri harus menerima takdir mereka tanpa ada usaha untuk memperoleh keadilan (Asghar, 2003: 111).
Ketika Islam melihat poligami sedemikian biadab, maka ia datang untuk mengatur dan mentertibkannya. Lalu menentukan setiap lelaki hanya dapat beristerikan maksimal empat wanita, karena Islam mengetahui kekuatan lelaki dan kelemahan wanita di tengah-tengah dorongan syahwat dan godaan, juga di antara peradaban yang salah satu kepentingannya ialah melemahkan umat Islam sehingga mereka melupakan identitas dan mengikuti syahwat mereka (Abu Hafs, 2005: 460).
3.Hikmah Poligami
SEBAGIAN masyarakat berpendapat bahwa laki-laki tidak berhak melakukan poligami, karena poligami merupakan bentuk kezaliman terhadap wanita (isteri) di mana suami tidak dapat berlaku adil terhadap para isteri, mereka beragumentasi bahwa Al-Quran menetapkan adil sebagai syarat poligami. Allah SWT dalam Surah An-Nisa’ ayat 3 (Anonim, 1996, 61), berfirman:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim bilamana kamu mengawininya, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi dua, tiga, atau empat, kemudian jika kamu takutlah kamu tidak akan berlaku adil maka (kahwinilah) seorang sahaja atau budak-budak yang kamu miliki , yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Berlaku adil yang dimaksudkan dalam ayat tersebut ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turut ayat ini, poligami sudah ada dan pernah dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw, Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
Kemudian Al-Quran menafikan kemampuan suami dapat berlaku adil, seperti difirmankan Allah SWT dalam Surah An-Nisa’ ayat 129 (Anonim, 1996, 78):
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), sekalipun kamu menginginkan demikian, karena itu janganlah kamu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.
Ayat pertama mewajibkan berlaku adil pada hal-hal yang menjadi kesanggupan suami yaitu adil dalam bermalam, nafkah dan pergaulan. Sedangkan ayat kedua menafikan keadilan yangg memang berada di luar kesanggupan suami yaitu cinta dan hubungan badan, sangat jelas kepada kita setiap pensyariatan hukum Allah SWT adalah mempunyai hikmah-hikmah tertentu baik dapat dilihat dengan mata atau tersembunyi.
Begitu juga dengan poligami yang membawa maksud tersendiri. Dilihat dari pendapat yang membolehkan, dapat dilihat dari jumlah wanita yang biasanya lebih banyak dari jumlah kaum laki-laki dan jika monogami berlaku berarti sekian banyak perempuan telah dihilangkan kesempatan untuk bernikah yang akan mengakibatkan terjadi banyak kasus perzinaan serta kerusakan moral.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: “Engkau akan melihat seorang pria diikuti oleh 40 wanita untuk bersenang-senang dengannya karena sedikitnya jumlah kaum pria dan banyaknya jumlah kaum wanita” (Ibnu Hajar, HR Bukhari No. 5231 dan HR Turmudzi No. 2205).
Melahirkan keturunan sangat penting dalam kehidupan ini, bukan berarti menghalangi suami untuk berpoligami, tidak, sekali lagi tidak, tidak sama sekali, banyaknya keturunan merupakan kebanggaan laki-laki pada hari kiamat, sebagai mana Nabi menggambarkan kepada kita dengan: “Menikahlah! Sesungguhnya aku akan membanggakan jumlah kalian di hadapan umat-umat lainnya pada hari qiamat”.[1]
Islam adalah agama kemanusiaan senantiasa menganjurkan umatnya untuk melaksanakan pembangunan tugas tersebut, tentu memerlukan kepada sebuah negara yang kuat dan maju dalam segala bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam mewujudkannya, yaitu dengan lahir anak-anak bangsa yang cemerlang (rakyat yang banyak) turut mempengaruhi pembangunan negara. Poligami merupakan salah satu jalan penyelesaian terbaik bagi meramaikan penduduk.
Penulis Al-Manaar, mengatakan: Rahasia mengenai ketidakmampuan wanita untuk menghasilkan keturunan setelah berusia 50 tahun bahwa kekuatan wanita terus berkurang dan kelemahannya bertambah akibat mengandung, melahirkan, dan menyusui, dan jika usianya semakin menua, maka dia semakin lemah, dan bertambah lemah, dan kelemahannya itu sebagai rahmat dari Allah, tidak menjadikannya siap untuk melahirkan pada tahun tersebut.
Kebolehan poligami dengan pembatasan bilangan yang tidak melebihi dari empat dalam satu masa merupakan rahmat dan kurnia Allah SWT kepada manusia khususnya kepada umat Islam. Bagi kaum lelaki, mereka boleh berpoligami tidak melebihi empat dengan syarat mereka sanggup berlaku adil terhadap isteri-isterinya dalam segala hal, baik material ataupaun lainnya. Namun jika bimbang sekiranya dengan berpoligami itu, mereka akan gagal menjalankan tanggungjawabnya dengan sempurna dan adil, maka poligami haram terhadap mereka. Dengan demikian, di sini tidak ada paksaan atau larangan sama sekali, semuanya adalah tergantung pada kemampuan dan faktor lain yang harus diperhatikan (Nasohah, 2000: 10).
Adapun akibat negatif poligami yang kita saksikan di masyarakat, seperti ketidakadilan suami terhadap isteri-isterinya, hal ini bukan lahir dari syariat poligami itu sendiri, akan tetapi diakibatkan oleh tidak diterapkannya syariat poligami itu dengan benar.
Kebolehan poligami dalam Islam bertujuan untuk kesejahteraan semua pihak, yaitu ahli keluarga korban, masyarakat dan negara, di samping memelihara kesucian Islam itu sendiri sebagai agama yang menitikberatkan perlindungan terhadap semua makhluk (kejadian) terutama manusia agar tidak teraniaya (Zaleha Muhammad, 2002: 1).
Allah SWT berfirman dalam QS An-Nisa’ ayat 19 (Anonim, 1996: 64): “…pergaulilah (wahai para suami) isteri-isteri kamu dengan baik…” Disyaratkan demikian karena Islam menginginkan setiap suami menjalani tanggung jawab terhadap perkawinan yang dilakukan baik monogami maupun poligami.
4. Sebab-Sebab Poligami
SETIAP ayat dalam Al-Quran yang menetapkan syariat tidak hanya terikat dengan suatu hukum atau peristiwa saja, akan tetapi ia mempunyai lingkungan yang lebih luas dan mengandung berbagai hikmah dan rahasia-rahasia yang dapat dijelaskan melalui penjelasan Sunnah Rasul Saw. Begitu juga dengan poligami yang terdapat beberapa faktor yang membolehkan keadaan ini berlaku, berdasarkan keterangan dari Hadist, ahli-ahli tafsir telah merumuskan secara proporsional tentang sebab-sebab berlakunya poligami.
4.1. Mandul
ISTERI yang tidak dapat melahirkan anak merupakan fenomena terhadap laki-laki yang menginginkan keturunan yang akan membahagiakannya di dunia dan di akhirat, maka tiada pilihan selain dua hal, menikah dengan isteri kedua yang akan melahirkan anak-anak yang akan membawa nama dan menjalankan peranan dalam kehidupan dan mendoakan untuknya setelah kematian atau perceraian.
Tidak diragukan bahwa memadunya adalah lebih utama dan lebih mulia daripada perpisahan. Maka semestinya isteri tidak menghalangi suami yang memuliakannya, menghormati dan menghargai kedudukannya untuk menikah lagi.
4.2. Isteri yang Berpenyakit
ADAKALANYA isteri tertimpa penyakit kronis yang tidak memungkinkan untuk menjalani kehidupan alamiah, maka dengan demikian hidup bersama suami dan isteri kedua dan mendapatkan pemeliharaan dan memiliki segala haknya sebagai isteri.
4.3. Tabiat Biologis Pria Berbeda dengan Wanita
TABIAT pria berbeda dengan wanita dalam hal susunan jasmani. Maka masa subur pada laki-laki berlangsung hingga 70 tahun atau lebih dari usia subur wanita yang dapat mengandung hingga usia 50 tahun. Di sisi lain daya seksual yang dimiliki laki-laki lebih besar dibandingkan isteri yang selalu datang kepadanya masa-masa yang melemahkan aspek seksualnya, yaitu kehamilan, nifas, haid, sakit, dan seterusnya.
4.4. Isteri Sukar Dididik
TERDAPAT juga wanita yang sukar untuk dibentuk dan dididik sikapnya supaya menjadi lebih baik dan positif. Sikapnya yang sering menimbulkan kemarahan suami dan sukar untuk dibentuk tidak mampu diubah walaupun berbagai usaha telah dijalankan.
4.5. Senantiasa Musafir
LAKI-laki sering bepergian jauh (lama) dan tidak dapat membawa isterinya setiap kali melakukan musafir dan tidak mampu bersabar dalam perantauannya tanpa isterinya, maka pernikahan dengan isteri kedua adalah lebih baik daripada melampiaskan kecenderungan seksualnya dengan cara haram.
Berkenaan dengan alasan-alasan darurat yang membolehkan poligami, menurut Abdurrahman (2002: 192) setelah merangkum pendapat fuqaha, setidaknya ada delapan keadaan, yakni: (1) isteri mengindap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan; (2) isteri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tak dapat melahirkan; (3) isteri sakit ingatan; (4) isteri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai isteri; (5) isteri memiliki sifat buruk; (6) isteri minggat dari rumah; (7) ketika terjadi ledakan perempuan dengan sebab perang misalnya; (8) kebutuhan suami beristeri lebih dari satu, dan jika tidak menimbulkan kemudharatan di dalam kehidupan dan pekerjaannya.
5. Dalil-Dalil Disyariatkan Poligami
AGAMA ISLAM telah mengikis kekacauan yang terjadi pada umat terdahulu di mana poligami tidak dibatasi oleh jumlah tertentu. Ketika Islam datang, para lelaki Kabilah Tsakif, banyak yang memiliki sepuluh orang isteri, antara lain seperti: Mas’ud bin Umar, Urwah bin Mas’ud, Sufyan bin Abdullah, Ghailan bin Salamah, Abu Agil Mas’ud bin Amr, Urwah bin Mas’ud bin Mu’tib. Lalu Islam membatasinya hanya empat isteri saja, sehingga ketika masuk Islam dan syariat poligami telah diturunkan, Ghailan, Sufyan dan Abu ‘Agil memilih empat orang isteri mereka dan menceraikan enam yang lain. Sedangkan ‘Urwah masuk Islam lalu wafat sebelum syariat poligami diturunkan.
Dalil disyariatkan poligami berasal dari Al-Qur’an, Sunnah Rasullullah Saw dan Ijma’.
5.1. Dalil Dari Al-Qur’an
BERIKUT ini asbabulnuzhul dari QS An-nisa’ ayat 3. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Urwah bin Az-zubir, ia menuturkan bahwa: ”Aku bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah SWT, yaitu Surah An-Nisa’ ayat 3. Ia menjawab: Wahai keponanku, anak perempuan yatim ini berada dalam pemeliharaan walinya, sedangkan harta perempuan yatim ini berada dalam pemeliharaan walinya. Rupanya harta dan kecantikannya mengagumkan walinya, sehingga berhasrat untuk menikahinya dengan tanpa berlaku adil dalam memberikan mahar kepadanya sebagaimana yang diberikan kepada selainnya. Karena demikian mereka dilarang menikahi perempuan itu, kecuali bila berlaku adil dan memberikan mahar yang layak, serta mereka diperintahkan supaya menikahi perempuan yang mereka senangi selain mereka (perempuan yatim yang berada dalam perwaliannya),’Urwah menuturkan setelah ayat ini (turun), lalu turunlah firman Allah SWT (Anonim, 1996: 78):
"Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang perempuan, katakanlah: “Allah SWT memberi fatwa kepadamu tentang mereka dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al-qur’an[2] (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka[3]sedang kamu ingin mengawini mereka[4] dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah dan Allah SWT menyuruh kamu supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahuinya.
Karena salah seorang dari kalian tidak suka menikahi perempuan yatim yang menjadi perwaliannya, jika harta dan kecantikan kurang, maka dilarang menikahi perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikan kecuali dengan adil.
Ayat di atas memberikan lelaki untuk beristeri tidak lebih dari empat, huruf wawu pada ayat ini berfungsi sebagai badal (ganti), artinya nikahilah tiga orang kalau tidak dua orang dan empat orang kalau bukan tiga orang (Al-Qurthubi, 1993: 13).
Adapun pendapat minoritas yang disebutkan oleh Imam Qurthubi yaitu seorang muslim boleh menikah dengan sembilan wanita sekaligus, mereka berdalil dengan firman Allah ayat di atas. Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa jumlah isteri yang halal dinikahi yaitu dua, tiga atau empat, dengan menggunakan huruf wawu yang berfungsi membolehkan penjumlahan antara bilangan-bilangan tersebut (sembilan). Al-Qurthubi mengatakan bahwa sebagian Mazhab Zhahiri bahkan membolehkan seorang lelaki beristeri delapan belas orang. Argumentasi mereka adalah kata jamak matsna (dua-dua) sama dengan empat, tsulatsa (tiga-tiga) sama dengan enam dan ruba’ (empat-empat) berarti delapan dan bila dijumlahkan menjadi delapan belas. Kedua pendapat ini tidak berdasarkan kaidah ilmiah dan bertentangan dengan hadist-hadist yang membatasi hanya empat orang isteri seperti perintah Rasul kepada orang-orang yang baru masuk Islam dan memiliki isteri lebih dari empat (Al-Qurthubi, 1993: 13).
Pernikahan dengan sembilan isteri hanya dikhususkan untuk Rasulullah Saw karena pada diri Rasul terdapat Ma’mun (kepercayaan) (Zakaria, tt, 222). Allah berfirman dalam QS Al-Ahzab ayat 21 (Anonim, 1996: 336) : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasululah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang mengharap (rahmat) Allah SWT dan (kedatangan) hari qiamat dan dia banyak menyebut Allah SWT“.
Perlu juga digarisbawahi bahwa ayat ini, tidak membuat satu peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh syariat agama dan adat-istiadat sebelum ini. Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami, dan itupun merupakan pintu darurat kecil yang hanya dilalui amat diperlukan dengan syarat yang tidak ringan (Shihab, 2005: 200).
5.2. Dalil dari Sunnah
QAISBIN Al-Harits ra, beliau berkata: “Ketika masuk Islam, saya memiliki delapan isteri, saya menemukan Rasulullah Saw dan menceritakannya keadaan saya, lalu Beliau bersabda: “Pilih empat di antara mereka.” (Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah No. 1953).
Hadist kedua ialah: Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam dalam keadaan beristeri sepuluh orang yang ia nikahi di masa Jahiliyah (sebelum masa Islam). Mereka semua masuk Islam bersamanya. Dan hadist-hadist lain yang cukup banyak jumlahnya.
5.3. Dalil dari Ijma’
KESEPAKATAN kaum muslimin tentang kehalalan poligami baik melalui ucapan atau perbuatan mereka sejak masa Rasulullah Saw sampai hari ini. Para sahabat utama Nabi melakukan poligami seperti Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, Muawiyyah bin Abi Sufyan, dan Muaz bin Jabal radhiyallahu ‘anhum. Poligami juga dilakukan oleh ahli figh tabi’in (generasi pascasahabat Nabi), dan lain-lain yang menikah lebih dari seorang isteri, kesimpulannya bahwa generasi salaf (terdahulu) dan khalaf (kini) dari umat Islam sepakat melalui ucapan dan perbuatan mereka bahwa poligami itu halal.
Jalaluddin Al-Mahalli menukil dari perkataan Imam Nawawi dalam kitabnya: ”Kebolehan seorang lelaki yang merdeka memiliki empat perempuan sedangkan hamba sahaya diizinkan menikahi dua perempuan.” (Jalaluddin, tt, 245).
6. Hukum Poligami
SEBAGAIMANA telah kita ketahui bahwa hukum menikah adakala wajib, sunat, atau makruh sesuai keadaan seseorang. Kita dapat melakukan hal yang sama terhadap poligami, dan kemampuan memenuhi hak-hak isterinya. Pada dasarnya, poligami itu hukumnya mubah (boleh) seperti yang diisyaratkan oleh firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa’ ayat 3. Ayat ini menjelaskan kehalalan poligami dengan syarat dapat berlaku adil. Jika syarat ini tidak dapat dipenuhi di mana suami yakin bahwa ia akan melakukan kezaliman dan menyakiti isteri-isterinya, dan tidak dapat memenuhi hak-hak mereka dengan adil, maka poligami menjadi haram. Jika ia kemungkinan besar menzalimi salah satu isterinya, maka poligami menjadi makruh. Namun jika ia yakin akan terjatuh kepada perbuatan zina maka menjadi wajib atasnya (Arij, 2003: 32).
7. Syarat-Syarat Poligami
PENETAPAN berlakunya poligami oleh Islam beserta dengan batasan-batasan tertentu dengan syarat-syarat sendiri, sebenarnya mempunyai tujuan jangka panjang yaitu untuk meratakan kesejahteraan keluarga dan untuk menjaga ketinggian nilai di kalangan masyarakat Islam, seterusnya meningkat budi pekerti kaum muslimin. Berikut adalah syarat-syarat berpoligami yang telah digariskan oleh syara’, yaitu:
7.1. Pembatasan Jumlah Isteri
AL-Jurjani dalam kitabnya “Hikmah Al-Tasyri’ Wafasafatuhu” menjelaskan ada tiga hikmah yang dikandung oleh syariat poligami. Pertama, kebolehan poligami yang dibatasi sampai empat orang menunjukkan bahwa manusia sebenarnya terdiri dari empat campuran di dalam tubuhnya; Kedua, batasan empat juga sesuai dengan jenis mata pencaharian laki-laki; pemerintahan, perdagangan, pertanian dan industri; Ketiga, bagi seorang suami yang memiliki empat orang isteri berarti ia mempunyai waktu senggang tiga hari dari merupakan waktu yang cukup untuk mencurah kasih sayang (Ali Ahmad, tt, 10).
Kita tentu boleh sepakat boleh tidak dengan hikmah yang digali oleh Al-Jurjawi tersebut, namun setidaknya pernyataan di atas cukup sebagai bukti betapa para ulama fikih selalu mencoba melakukan rasionalisasi agar poligami bisa diterima dengan baik. Begitu banyak hikmah yang dapat digali dari syariat poligami, sama juga banyaknya kelemahan yang terdapat di dalam poligami. Adalah Al-Athar dalam bukunya “Ta,addud Al-Zawzat” mencatat empat dampak negatif dari poligami: Pertama, poligami dapat menimbulkan kecemburuan di antara para isteri pertama poligami; Kedua, menimbulkan rasa kekhawatiran isteri kalau-kalau suami tidak bisa bersikap adil dan bijaksana; Ketiga, anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang berlainan sangat rawan untuk terjadinya perkelahian, permusuhan dan saling cemburu; Keempat, kekacauan dalam bidang ekonomi (Kahiruddin, 1996: 100).
Bisa saja pada awalnya suami memiliki kemampuan untuk berpoligami, namun bukan mustahil suatu saat akan mengalami kebangkrutan, maka yang akan menjadi korban akan lebih banyak (Amiur Nuruddin, 2004: 161).
Imam AL-Ghazali berkata dalam “Ihya Ulumid-din”: “Sebaiknya suami menggauli isterinya sekali setiap empat malam, karena itu paling proporsional, mengingat jumlah isteri maksimal empat orang, tapi itu boleh ditambah atau dikurangi sesuai kebutuhan isteri dalam menjaga kesucian dirinya, karena menjaga kesucian isteri tidak menuntutnya, karena tuntutan dalam masalah ini sangat sulit, juga dalam memenuhi tuntutan tersebut.” (Al-Ghazali, tt, 109).
7.2. Adil Terhadap Isteri
ALLAH SWT memerintahkan laki-laki yang ingin berpoligami agar berlaku adil (QS An-Nisa’ ayat 3). Orang yang mencermati ayat ini akan sampai kepada pendapat bahwa Al-Qur’an menjadikan perasaan ragu tidak bisa berlaku adil sebagai penghalang poligami dan hanya diperbolehkan jika terdapat keyakinan mampu berlaku adil terhadap semua isteri (Arij, 2003: 34).
Berkenaan dengan syarat berlaku adil, hal ini sering terdapat perdebatan yang panjang tidak saja di kalangan ahli hukum, akan tetapi juga di masyarakat. Apa sebenarnya yang dimaksud berlaku adil dan dalam hal apa suami harus berlaku adil?
Muhammad Husien al-Zahabi, mendefinisikan “adil” sebagai adanya persamaan dalam memberikan nafkah dan pembagian hari terhadap sesama isteri dalam batas yang mampu dilakukan oleh manusia. Selanjutnya Muystafa al-Sibai mengatakan bahwa keadilan material seperti yang berkenaan dengan tempat tinggal, pakaian, makanan, minum, perumahan dan hal-hal yang bersifat kebutuhan material isteri.
Jika disederhanakan, pandangan normatif Al-Quran yang selanjutnya diadopsi oleh ulama-ulama fikih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki oleh suami: Pertama, seorang lelaki yang akan berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya isteri yang dinikahi, kedua seorang lelaki harus memperlakukan semua isterinya dengan adil (Abdurrahman, 2002: 192).
Jelaslah syarat-syarat di atas sangat longgar dan memberikan keleluasaan yang cukup luas terhadap suami untuk memutuskan apakah ia akan melakukan poligami atau tidak. Jadi titik tekannya pada suami (laki-laki), sesuatu yang dikritik oleh feminis-feminis Islam. Memang dalam pandangan pandangan fukaha’, kebolehan poligami dipandang selesai. Beberapa syarat yang melekat suami diupayakan untuk diringankan bobotnya, seperti dijelaskan penulis-penulis hukum Islam. Syarat adil yang sejatinya mencakup fisik dan nonfisik, oleh Syafi’i dan ulama-ulama Syafi’iyyah dan orang-orang yang setuju dengannya diturunkan kadarnya keadilan fisik dan material saja. Lebih dari itu, para ulama juga mencoba untuk menggali hikmah-hikmah yang tujuannya adalah untuk melakukan rasionalisasi terhadap praktik poligami (Amiur, 2004: 164).
Justru di sinilah masalahnya, para ulama fikih cenderung memahami keadilan di sini secara kuantitatif yang bisa diukur dengan angka-angka. Apakah keadilan kualitatif ini mungkin dapat diwujudkan dan bagaimana pula cara mengukurnya? Padahal sebagaimana yang difatwakan Abduh, keadilan di sini yang disyaratkan Al-Qur’an adalah keadilan yang bersifat kualitatif seperti kasih sayang, cinta dan perhatian yang semuanya tidak bisa diukur dengan angka-angka. Apakah keadilan kualitatif ini mungkin diwujudkan dan bagaimana mengukurnya?
Sebagian besar ahli hukum Islam menyadari bahwa keadilan kualitatif ini sesuatu yang sangat mustahil untuk diwujudkan.
Abdurrahman Al-Jaziri (Abdurrahman, tt: 239) di dalam kitabnya menulis bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kewajiban bagi orang-orang yang berpoligami karena sebagai manusia wajar tertarik pada salah seorang isterinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang berada di luar batas kontrol manusia.
Kompromi di antara dua ayat: QS An-Nisa’ ayat 3 dan QS An-Nisa’ ayat 129, bahwasanya Allah SWT membolehkan menikahi empat orang isteri, tetapi dengan syarat harus berlaku adil dalam perbuatan dan perkataan.
Adapun adil dalam cinta di antara mereka, maka kalian tidak akan mampu berbuat adil, walaupun kalian menginginkannya. Dan Nabi memberi jatah dan berbuat adil, lalu beliau berkata: “Ya Allah, inilah pembagianku pada apa yang engkau miliki, maka janganlah engkau mencelaku pada apa yang engkau miliki, sedangkan aku tidak” (Sukandi, 1998: 388).
Makna ucapan tersebut, bahwa beliau tidak memiliki apa yang ada dalam hatinya berupa cinta kepada sebagian isteri yang lebih mendalam daripada cintanya kepada yang lain. Sebab, hati adalah kepunyaan Allah, dia memalingkan bagaimana yang ia sukai.
Adapun jika tidak dapat berbuat adil dalam menjatah giliran malam, harta dan selainnya, maka sebaiknya dan bahkan harus mencukupkan satu wanita saja, jika tidak, maka dia termasuk golongan yang disinyalir oleh Rasullullah Saw: “Barang siapa yang mempunyai dua orang isteri lalu cenderung kepada salah satu dari keduanya dibandingkan yang lainnya, maka dia datang pada hari qiamat dengan menarik salah satu dari kedua pundaknya dalam keadaan jatuh atau condong.”[5]
7.3. Mampu Memberi Nafkah
PARA Ulama sepakat bahwa suami wajib memberi nafkah kepada isterinya dengan dalil-dalil dari Al-Qura’an, QS Al-Baqarah ayat 233 (Anonim, 1996: 66): “Dan kewajiban yang diberi anak (ayah) memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.”
Ayat ini mewajibkan suami memberi nafkah kepada isteri yang baru melahirkan, padahal pada saat itu tidak dapat menggaulinya. Hal ini menunjukkan bahwa ketika tidak dalam keadaan demikian, maka nafkah lebih wajib lagi.
Para Ulama berbeda pendapat tentang kadar nafkah, jumhur atau mayoritas ulama (Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hambaliyyah) mengatakan bahwa kadar nafkah ditentukan oleh kecukupan isteri. Mereka mengambil dalil dari Al-Qur’an, Sunnah, Qias (Arij, 2003: 237).
Seseorang tidak diperbolehkan maju menikah dengan seorang perempuan atau lebih jika ia tidak mampu memberi nafkah secara berkesinambungan, karena Rasulullah Saw bersabda: “Wahai para pemuda, barang siapa yang telah mampu menikah di antara kalian maka segeralah menikah, karena ia lebih dapat menjaga pandangan dan kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, hendaklah berpuasa, karena puasa itu perisai”.[6]
7.4. Wanita yang Dikumpulkan Tidak Bersaudara
ISLAM menetapkan poligami adalah untuk memelihara keluarga muslim dan kaum perempuan. Dengan demikian Islam melarang lelaki mengumpulkan kakak dengan adik, ibu dengan anak perempuannya atau seorang perempuan dengan saudara ayahnya atau saudara ibunya dalam satu masa. Firman Alllah SWT dalam QS Surat An-Nisa’ ayat 22 (Anonim, 1996: 64): “Dan janganlah kamu menikahi perempuan yang telah diperisterikan bapakmu…”
Larangan ini bertujuan untuk memelihara ikatan silaturrahmi sesama anggota keluarga, menghindari dari timbulnya perasaan cemburu dan rasa iri sesama saudara. Padahal ikatan dan jalinan kasih sayang telah lama terbina. Di samping itu juga dapat meramaikan dan memperluas ikatan persaudaraan.
Catatan Penutup
BERDASARKAN uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sampai sekarang poligami telah menjadi hal yang kontroversial di tengah masyarakat kita. Perbuatan seorang laki-laki mengumpulkan dalam tanggungannya lebih dari satu isteri ini menjadi perdebatan pro dan kontra yang tak kunjung selesai. Landasan Firman Allah SWT yang memberikan legitimasi kebolehannya pun tak cukup menghentikan polemik seru ini. Penolakan baik halus maupun kasar dilontarkan dengan beragam cara dan metode. Tujuannya adalah bagaimana kebijakan Allah SWT yang satu ini semustahil mungkin kalau bisa dinihilkan untuk digunakan. Sebahagian yang tidak setuju sedemikian ektrim sampai menolaknya dengan harga mati.
Dalam bukunya “Al- Mar’ah al-Muslimah Wafighud-Dakwah Ilallah”, Ali Abdul Halim menegaskan bahwa poligami bukan bagian dari ciptaan Islam. Di sisi lain semangat berpoligami kadangkala mengabaikan syarat utama yang menjadi tuntutan yakni keadilan, sehingga poligami ini memberikan stigma tidak baik yang membuat para penentangnya makin mantap dalam mengkampanyekan bahwa poligami adalah kemustahilan dan bahkan tindak kejahatan terhadap wanita.
Bagaimanapun poligami tetap akan diperdebatkan. Sebenarnya masalah tidak terlalu berat dan tidak perlu menempatkannya sebagai sesuatu yang membahayakan kehidupan wanita, yang jelas poligami merupakan syariat agama yang jelas keberadaannya dalam Al-Qur’an, terlepas bagaimana ayat tersebut diterapkan dan tinggal lagi masalahnya dalam kondisi yang bagaimana dan oleh siapa syariat poligami itu diterapkan. Dan perlu dimengerti bahwa poligami ini tidak diwajibkan atau dianjurkan, akan tetapi hanya berbicara tentang kebolehannya saja dan diikuti dengan syarat-syarat yang ketat.
Jika seseorang memiliki kesanggupan dan beristeri lebih dari satu merupakan kebutuhan dirinya agar tetap dapat memelihara muru'ah dan juga dimotivasi untuk membantu. Selama ia dapat berlaku adil, maka ia boleh melakukan poligami. Sebaliknya orang yang tidak memiliki syarat-syarat yang pantas, maka poligami merupakan sesuatu yang dihindari. Dengan demikian, sebenarnya poligami merupakan sesuatu yang harus dihindari. Dengan demikian poligami merupakan sesuatu yang pribadi dan kondisional adalah tidak tepat jika poligami digeneralisir, seolah-seolah ia syariat yang berlaku umum dan dapat dilaksanakan oleh semua orang.
Referensi
Abdurrahman, Arij as-Sanan 2003, Al-‘Adlu Baina Az-Zaujaat, Penerjemah Ahmad, Sahal Hasan, PT. Global Media Cipta Publising, Jakarta.
Abdurrahman, I. Doi, 2002, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), Rajawali Press, Jakarta.
Abu Hafs, Usamah bin Kamal bin Abdi Razzag, 2005, Isyaratun Nisaa’ minal alif Ilal Yaa, Penerjemah Saikhu, Ahmadh, Pustaka Ibnu Katsir, Bogor.
Akmal, Azhari Tarigan dan Amiur Nuruddin, 2004, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta.
Al-Ghazali, Abu hamid Muhammmad bin Muhammmad, tt, Ihya Ulumu al-Din, Al-Fikr, Beirut.
Al-Jaziri, Abdurrrahman, tt, Kitab al-figh ‘ala Mazahib al-arba’ah, Dar al-Fikr, Beirut.
Al-jurjawi, Ali Ahmad , tt, Hikmah al-Tasyri’ Wafasatuhu, Dar Al-Fikr, Beirut.
Al-Mahalli, Jalaluddin, tt, Syarh al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin, Dar al-Fikr, Beirut.
Anonim, 2002, Kamus Dewan Bahasa, Edisi Ketiga, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur.
Anonim, AL-Qur’an al-karim dan Terjemahannya, 1996, Karya Toha Putra, Semarang.
Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad, 1993, Al-Jami’lil Ahkam Al-Qur’an, Dar Al-kutub Al-Limmiyyah, Bairut.
Al-Tirmidzi, Muhammad bin Isa bin Saurah, 1414 H/1995 M, Sunan al-Tirmizhi Dar al-Fikr, Beirut.
Ali Engineer, Asghar, 2005, Pembebasan Perempuan, Pustaka Ibnu Engineer, Bogor.
Ibnu Hajar, Ahmadh bin Ali, 1407 H \1987 M, fath al-Bari Syarh Shahih Bukhari, Dar al-Rayyyan li al_Turats, Kairo.
Ibnu Majah, Abu Abdillah Muhammad al-Qazwaini, 1416 H/ 1996 M, Sunan Ibnu Majah, Dar al-Ma’rifah, Beirut.
Muhammad, Zaleha, 2002, Analisis Poligami Menurut Persfektif Islam, Lhohprint sdn.bhd, Selangor.
Nasohah, Zaini, 2000, Poligami Hak Keistemewaan Menurut Syariat Islam, Percetakan Cergas (M) sdn.bhd, Kuala Lumpur.
Nasution, Kahiruddin, 1996, Riba dan Poligami, Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, Pustaka Pelajar, Yokyakarta.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, 2004, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta.
Shihab, M. Quraish, 2005, Wawasan Al-qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai persoalan Umat, Mizan, Bandung.
Syarif Sukandi, Muhammad, 1998, Terjemahan Bulughul Maram: Figh Berdasarkan Hadist, Al-Haramain, Singapore.
Zakariya, An-shari, tt, Syarkawi ‘ala Tahrir, Jilid II, Bungkul Indah, Surabaya.
----------------------------------------------
[1]Ibnu Majah, Abu abdillah Muhammad al-Qazwaini, Sunan Ibni Majah (Beirut: Dar al- Ma’rifah, 1996) HR. Ibnu Majah (No.1863) kitab an-Nikah. Dan di dalamnya terdapat Thalhah bin Amr bin Utsman, dia adalah matruk.
[2] Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.
[3] Maksudnya ialah: pusaka dan maskawin.
[4] Menurut Adat Arab Jahiliyyah, seorang wali berkuasa atas wanita yatim yang dalam asuhannya dari berkuasa atas akan hartanya. Jika wanita yatim itu cantik dikawin dan diambil hartanya dan jika wanita yatim itu buruk rupanya, dihalangi kawin dengan laki-laki lain supaya dia tetap dapat menguasai hartanya.
[5] Al-Thirmizhi, Muhammad bin Isa bin saurah , Sunan Al-tirmizhi ( Beirut Dar-Fikr1414 H \1994 M. HR At-Thirmizhi (No.1141), kitab An-Nikah, ia mengatakan: “Aku tidak mengetahui hadis ini marfu’ kecuali dari Hadist Hamman. Hamman adalah Perawi Tsiqat dan Hafizh.” Semua perawinya Tsiqat (terpercaya).
[6] Muttafaq ‘alaih (Bukhari, kitab puasa bab puasa bagi yang takut dirinya terus membujang): Muslim, kitab nikah bab anjuran menikah bagi yang berhasrat. {KAUM SARUNGAN}
Jumat, 20 Mei 2011
POLIGAMI DAN HAK KEISTIMEWAAN DALAM ISLAM
Hukum Mu`allim dan Muta`allim Mengambil Zakat
(ولو استغل بعلم) شرعى كما فى روضة وأصلها (والكسب يمنعه) من الإشتغال به (فقير) فيشتغل بعلم ويأخذ (ولو استغل بالنوافل فلا) اى فليس بفقير فيكسب ولا يستغل بها والفرق ان الإستغال بالعلم فرض كفاية. (محلى ومتنه, 3. 196)
Jika seseorang mengkususkan diri untu mencari ilmu syar’i, penambahan syar’i sebagai yang ditambah dalam Raudhah wa ashliha, yang tidak sempat ia berusaha maka ia dianggab fakir, maka ia boleh menuruskan mencari ilmu dan mengambil harta zakat. Dan bila ia mengkhususkan diri untuk melakukan hal-hal yang disunatkan, maka ia tidak dianggab fakir dan harus berusaha dan tidak boleh mengkhususkan diri untuk hal-hal yang sunat, karena mencari ilmu hukumnya fardhu kifayah yang berbeda dengan pekerjaan yang lain yang hukumnya sunat.
(قوله بعلم شرعى) ولو مما يطهر الباطن كتصوف ومثل العلم آلته كالنحو كذا حفظ القرآن لاتلاوته (قليوبى, 3. 196)
(kata mushannif بعلم شرعى ) Walau mencari ilmu untuk membersihkan bathin seperti seperti ilmu tasawuf. Termasuk dalam ilmu Syar`i adalah ilmu penunjang ilmu Syar`i seperti sastra demikian juga menghafal Al-Quran, tidak termasuk membacanya (Qalyuby, III. 196)
(قوله ويأخذ) اى ما يكفيه ويكفى ممونه الازمة نفقته كأبيه وولده وعبده المحتاج اليه لازجته قاله شيخنا رملى (قليوبى, 3. 196)
(Kata Musannif : ويأخذ ) maksudnya boleh mengambil kadar yang mencukupi untuk kebutuhan diri sendiri dan kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya seperti orang tuanya, anaknya dan budak yang ia butuhkan. Tidak termasuk untuk kebutuhan isterinya, demikianlah pendapat guru kita Ramly. (Qalyuby, III. 169)
تنبيه ... وقد صرح به فى الأنوار فقال ولو قدر على كسب بالوراقة اوغيرها وهو مشتغيل بالتعلم القرآن او علم الذى هو فرض كفاية او تعليمه واشتغال بالكسب يقطعه عن التعلم والتعليم حلت له زكاة (ولو اشتغل بالنوافل) للعبادة وملازمة الخلوات فى المدارس ونحوها (فلا) يكون فقيرا وادعى فى المجموع الإتفقاق عليه لأن الكسب وقطع الطمع عما فى أيدى الناس أولى من اقبال على النوافل مع الطمع والفرق بين المشتغل بهذا وبين المشتغل بعلم وقرآن بأن ذلك مشتغل بما هو فرض كفاية بخلاف هذا ولأن النفع هذا قاصر عليه بخلاف هذا (مغنى المحتاج ومتنه, 3. 107)
Tanbīh. Imam Yusuf Irdabily telah menjelaskan dalam kitab al-Anwar dengan kata beliau ; Jika seseorang mampu untuk berusaha dengan menjual kertas atau dengan cara lainnya pada saat ia sedang belajar Al-Quran atau ilmu lain yang hukumnya fardhu kifayah ataupun mengajarinya, namun jika ia berusaha dapat menghalanginya untuk belajar dan mengajar maka halal terhadapnya mengambil harta zakat (jikalau seseorang megkhususkan dirinya untuk mengerjakan sunat) dan mengasingkan diri di madāris (ma`had) atau seumpamanya (maka ia tidak) dianggap fakir. Pengarang kitab al-Majmu` (Imam Nawawy) mengatakan pendapat ini telah disepakati oleh seluruh ulama karena berusaha dan memalingkan diri dari loba terhadap apa yang ada pada manusia lebih utama dari pada melakukan ibadah sunat diiringi rasa suka terhadap apa yang ada pada manusia. Perbedaannya yaitu belajar atau mengajar hukumnya fardhu kifayah berbeda dengan amalan sunat dan juga mamfaat dari amalan sunat hanya untuk dirinya berbeda dengan belajar dan mengajar. (Mughny al-Muhtaj wa Matnuh, III. 107)
قوله (كفايته بنفقة قريب) اى أصل او فرع فلو لم تكفيه فله أخذ تمام كفايته ولو من زكاة المنفق عليه من زوج او قريب ومنعهم دفع زكاته لمن تلزمه نفقته يحمل على من يكفيه النفقة ولو امتنع قريب من الإنفاق واستحيا من رفعه الى الحاكم كان له الأخذ لأنه غير مكفى (بجيرمى, 3. 310)
(Kata Musannif ; كفايته بنفقة قريب , kebutuhannya mencukupi dengan nafakah dari kerabatnya) yang dimaksud dengan kerabat adalah Ashal (ayah, kakek maka ke atas) dan Furu` (anak, cucu maka ke bawah) Jika nafakah dari mereka tidak memenuhi kebutuhannya maka ia boleh mengambil kebutuhannya dari zakat secukupnya walau dari harta zakat orang yang memberi nafakah terhadapnya, yaitu suami, atau “kerabat”. Pendapat ulama yang mengatakan tidak boleh memberi zakat kepada orang yang wajib dinafakahinya maksudnya adalah orang yang telah cukup kebutuhannya dengan pemberian mereka. Jika “kerabat” tidak mau memberi nafkah untuknya dan ia malu untuk mengadukan kepada hakim maka ia boleh mengambil zakat karena tidak cukup kebutuhannya. (Bujairimy, III. 310)
(لا) اشتغاله (بعلم شرعى) يأتي منه تحصيله (والكسب يمنعه) منه لأنه فرض كفاية (فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب, 3. 310)
(Tidak) “terhalang untuk mengambil zakat” kesibukan seseorang (dengan ilmu agama) yang hasil kesibukan tersebut dapat bermamfaat untuk orang lain (sedangkan berusaha dapat menghalangi kesibukan) nya, karena kesibukannya adalah fardhu kifayah. (Fathu al-Wahab bi Syarhi Manhaj ath-Thullab, III. 310)
ويثتسنى من الأول ما لوكان مشتغلا بعلم الشرعى ويرجى منه النجابة والكسب يمنعه فتجب كفايته حينئذ ولا يكلف الكسب وفى حاشية الجمل وقع السؤال عما لو حفظ القرآن ثم نسيه بعد البلوغ وكان الإشتغال بحفظه يمنعه من الكسب هل يكون ذلك كإشتغاله بالعلم ام لا ؟ والجواب عنه ان الظاهر ان يقال فيه ان تعين طريقا بأن تتيسر فى غير أوقات الكسب كان كالإشتغال بالعلم والا فلا اهـ (اعانة الطالبين,4. 98)
Dikecualikan dari yang pertama (seorang anak yang sudah baligh dan sanggup untuk berusaha) jika seseorang bergelut dengan ilmu syar`i dan ada kemungkinan akan dicapai sebuah keberhasilan sedangkan usaha dapat menghalanginya dari hal tersebut maka pada saat itu ia boleh mengambil harta zakat dan tidak dibebankan ia untuk berusaha. Terdapat dalam Hasyiyah al-Jamal sebuah pertanyaan tentang orang yang telah menghafal Al-Quran kemudian ia lupa, sedangkan jika ia mencari nafkah mengakibatkan tidak ada waktu untuk menghafal kembali, samakah permasalahan ini dengan kesibukan mencari ilmu agama ataupun tidak? Jawabannya adalah menurut pendapat yang Dhahir jika ia mudah untuk menghafal kembali dengan tidak berusaha maka hal ini sama dengan kesibukan mencari ilmu, jika tidak maka tidak sama. Demikian (I`anah ath-Thalibin, IV. 98) {Hasil Putusan Lajnah Bahtsul Matsa-il MUDI Mesjid Raya} Dikutip dari
Senin, 04 April 2011
Apa yang dimaksud dengan golongan Ahlussunnah wal jamaah ?
Syekh Abu al-Fadl Abdus Syakur As-Sinuri dalam karyanya “Al-Kawakib al-Laama’ah fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah” menyebutkan definisi Ahlussunnah wal jamaah sebagai kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW dan thariqah para sahabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik (fiqh) dan akhlaq batin (tasawwuf).
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitabnya, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haq juz I hal 80 mendefinisikan Ahlussunnah wal jamaah sebagai berikut “Yang dimaksud dengan as sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan Beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jamaah adalah segala sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa empat Khulafa’ur-Rasyidin dan telah diberi hidayah Allah “.
Dalam sebuah hadits dinyatakan :
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة ، وتفرقت النصارى الى إثنين وسبعين فرقة وتفرقت أمتي على ثلاث وسبعين فرقة ، كلها في النار الاّ واحدة قالوا : ومن هم يا رسول الله ؟ قال : هم الذي على الذي أنا عليه وأصحابي . رواه أبو داود والترميذي وابن ماجه.
“Dari Abi Hurairah r.a., Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan. Dan umat Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua masuk neraka kecuali satu. Berkata para sahabat : “Siapakah mereka wahai Rasulullah?’’ Rasulullah SAW menjawab : “Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.”. HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah.
Jadi inti paham Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) seperti tertera dalam teks hadits adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW dan petunjuk para sahabatnya. Dalam hadits lain:
عن عبد الرحمن بن عمرو السلمي أنه سمع العرباض بن سارية قال وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: فعليكم بما عرفتم من سنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين. رواه احمد
“Dari ‘Abdurrahman bin ‘Amr as-Sulami, sesungguhnya ia mendengar al- Irbadl bin Sariyah berkata: Rasulullah SAW menasehati kami: kalian wajib berpegang teguh pada sunnahku dan perilaku al-khulafa’ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk.’’ HR.Ahmad.
Sejak kapan istilah golongan Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) muncul ?
Paling mudah melacak periode awal kelahiran terminologi (istilah) Aswaja dimulai dengan lahirnya madzhab (tauhid) Al-Asy’ari dan Al-Maturidi . Tetapi kelahiran madzhab Aswaja di bidang kalam ini tidak dapat dipisahkan dengan mata rantai sebelumnya, dimulai dari periode ‘Ali bin Abi Thalib KW. Sebab dalam sejarah, tercatat para imam Aswaja di bidang akidah telah ada sejak zaman sahabat Nabi SAW, sebelum munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib KW, karena jasanya menentang penyimpangan khawarij tentang al-Wa’du wa al-Wa’id dan penyimpangan qodariyah tentang kehendak Allah SWT dan kemampuan makhluk.
Di masa tabi’in juga tercatat ada beberapa imam Aswaja seperti ‘Umar bin Abdul Aziz dengan karyanya “Risalah Balighah fi Raddi ‘ala al-Qodariyah”. Para mujtahid fiqh juga turut menyumbang beberapa karya teologi (tauhid) untuk menentang paham-paham di luar Aswaja, seperti Abu Hanifah dengan kitabnya “Al-Fiqhu al-Akbar” dan Imam Syafi’i dengan kitabnya “Fi tashihi an-Nubuwwah wa Raddi ‘ala al-Barahimah” .
Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu kemudian diwakili oleh Abu Hasan Al-Asy’ari, lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham Mu’tazilah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa akidah Aswaja secara subtantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi SAW. Imam Asy`ary dan Imam Maturidy tidaklah menciptakan satu pemahaman yang baru, tetapi beliau adalah dua diantara imam-imam yang telah berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis yang sesuai dengan pemahaman para ulama terdahulu dan para sahabat Rasulullah sehingga menjadi pedoman akidah Aswaja. Karena inilah Ahlussunnah dinisbahkan kepada kedua Ulama besar ini.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Imam Ibnu Hajar Al-Haytami (909-974 H/-1567 M) berkata “para ulama mengatakan :
ان المراد باهل السنة حيث اطلقوا اتباع أبي الحسن الاشعري و ابي منصور الماتودري
Jika Ahlussunnah wal jamaah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan yang digagas oleh Imam Abu al-Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi “.
Imam ٍSayyid Muhammad Al Husainy Az Zabidy (1205 H) dalam kitabnya Ittihaf sadat Al Muttaqin juga mengatakan :
اذا اطلق اهل السنة والجماعة فالمراد بهم الاشاعرة والماتوردية
Dalam fiqh adalah madzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Dalam tasawwuf adalah Imam Al-Ghazali, Abu Yazid al-Busthami, Imam al-Junaydi dan ulama’-ulama’ lain yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus islam paham Ahlussunnah wal jamaah.
Latar belakang sejarah yang menyebabkan lahirnya akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Secara faktual, tidak dapat dipungkiri bahwa awal mula terjadinya perpecahan masyarakat Islam dimulai dari Khalifah ‘Utsman bin Affan RA dan hampir melembaga pada periode Ali bin Abi Thalib KW. Perpecahan tersebut berlanjut pada persoalan akidah. Perbedaan tersebut berlangsung terus menerus secara pasang surut, terkadang volumenya kecil, terkadang juga membesar. Pada masa Abbasiyah berkuasa, sebelum periode al-Mutawakkil, terjadi keresahan yang luar biasa (mihnah) di kalangan umat Islam, akibat pemaksaan paham akidah Mu’tazilah oleh penguasa.
Dalam situasi kacau dan resah itulah muncul Imam Abu Hasan al-Asy’ari menawarkan rumusan teologi sesuai dengan nash Qur’an dan hadits yang telah tersusun rapi. Kemudian oleh para ulama’ disepakati sebagai paham teologi ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Makin lama pengikut paham ini makin besar. Sementara di daerah lain, yakni Samarqand, Uzbekistan, Imam Abu Manshur al-Maturidi, juga berhasil menyusun rumusan teologi yang pararel dengan rumusan Imam al-Asy’ari, semuanya mempunyai orientasi yang sama, yaitu menjawab persoalan-persoalan Islam yang sangat meresahkan pada waktu itu. Antara Asy`ariayh dan Maturidyah hanya terjadi perbedaan pada beberapa maslah yang tidak begitu mendasar dan tidak menafikan keduanya sebagai golongan Ahlussunnah.
Rujukan:
1. Itthaf Sadat Al Muttaqin jilid 2 cet. Dar Kutub Ilmiyah.
2. Ibnu Hajar Al Haitamy. Tathhiru al-Jinan wa al-Lisan cet. Maktabah hakikat Kitabevi, thn 2008.
3. Dan sumber lainnya....
Jumat, 18 Maret 2011
Sejarah Peringatan Maulid Nabi
Peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh raja Irbil (wilayah Irak sekarang), bernama Muzhaffaruddin al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 hijriyah. Ibn Katsir dalam kitab Tarikh berkata: “Raja Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang pemberani, pahlawan, alim dan seorang yang adil -semoga Allah merahmatinya-”.Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al-Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut raja al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits, ulama kalam, ulama ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut.Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh raja al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua mengapresiasi dan menganggap baik perayaan maulid Nabi yang digelar untuk pertama kalinya itu. Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat al-A’yan menceritakan bahwa al-Imam al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju Irak, ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 H, beliau mendapati Raja al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karenanya al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “at-Tanwir Fi Maulid al-Basyir an-Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada raja al-Muzhaffar.
Para ulama, semenjak masa raja al-Muzhaffar dan masa sesudahnya hingga sampai sekarang ini menganggap bahwa perayaan maulid Nabi adalah sesuatu yang baik. Jajaran para ulama terkemuka dan Huffazh al-Hadits telah menyatakan demikian. Di antara mereka seperti al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam an-Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), mantan mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), Mantan Mufti Bairut Lebanon; Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama besar yang lainnya. Bahkan al-Imam as-Suyuthi menulis karya khusus tentang maulid yang berjudul “Husn al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid”. Karena itu perayaan maulid Nabi, yang biasa dirayakan di bulan Rabi’ul Awwal menjadi tradisi ummat Islam di seluruh belahan dunia, dari masa ke masa dan dalam setiap generasi ke generasi.
Hukum Peringatan Maulid Nabi
Peringatan Maulid Nabi Muhammad yang dirayakan dengan membaca sebagian ayat-ayat al-Qur’an dan menyebutkan sebagian sifat-sifat nabi yang mulia, ini adalah perkara yang penuh dengan berkah dan kebaikan kebaikan yang agung. Tentu jika perayaan tersebut terhindar dari bid’ah-bid’ah sayyi-ah yang dicela oleh syara’.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perayaan Maulid Nabi mulai dilakukan pada permulaan abad ke 7 H. Ini berarti kegiatan ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat dan generasi Salaf. Namun demikian tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu yang haram. Karena segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah atau tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu bertentangan dengan ajaran Rasulullah sendiri. Para ulama menggolongkan perayaan Maulid Nabi sebagai bagian dari bid’ah hasanah. Artinya bahwa perayaan Maulid Nabi ini merupakan perkara baru yang sejalan dengan ajaran-ajaran al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi dan sama sekali tidak bertentangan dengan keduanya.
Dalil-Dalil Peringatan Maulid Nabi
1. Peringatan Maulid Nabi masuk dalam anjuran hadits nabi untuk membuat sesuatu yang baru yang baik dan tidak menyalahi syari’at Islam. Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم في صحيحه)
“Barang siapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim dalam kitab Shahihnya).
Faedah Hadits:
Hadits ini memberikan keleluasaan kepada ulama ummat Nabi Muhammad untuk merintis perkara-perkara baru yang baik yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, Atsar maupun Ijma’. Peringatan maulid Nabi adalah perkara baru yang baik dan sama sekali tidak menyalahi satu-pun di antara dalil-dalil tersebut. Dengan demikian berarti hukumnya boleh, bahkan salah satu jalan untuk mendapatkan pahala. Jika ada orang yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi, berarti telah mempersempit keleluasaan yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada masa Nabi.
2. Dalil-dalil tentang adanya Bid’ah Hasanah yang telah disebutkan dalam pembahasan mengenai Bid’ah.
3. Hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kedua kitab Shahih-nya. Diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram). Rasulullah bertanya kepada mereka: “Untuk apa mereka berpuasa?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari ditenggelamkan Fir'aun dan diselamatkan Nabi Musa, dan kami berpuasa di hari ini adalah karena bersyukur kepada Allah”. Kemudian Rasulullah bersabda:
أَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ
“Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”.
Lalu Rasulullah berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa.
Faedah Hadits:
Pelajaran penting yang dapat diambil dari hadits ini ialah bahwa sangat dianjurkan untuk melakukan perbuatan syukur kepada Allah pada hari-hari tertentu atas nikmat yang Allah berikan pada hari-hari tersebut. Baik melakukan perbuatan syukur karena memperoleh nikmat atau karena diselamatkan dari marabahaya. Kemudian perbuatan syukur tersebut diulang pada hari yang sama di setiap tahunnya.
Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan melaksanakan berbagai bentuk ibadah, seperti sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca al-Qur’an dan semacamnya. Bukankah kelahiran Rasulullah adalah nikmat yang paling besar bagi umat ini?! Adakah nikmat yang lebih agung dari dilahirkannya Rasulullah pada bulan Rabi’ul Awwal ini?! Adakah nikmat dan karunia yang lebih agung dari pada kelahiran Rasulullah yang menyelamatkan kita dari jalan kesesatan?! Demikian inilah yang telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani.
4. Hadits riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahih. Bahwa Rasulullah ketika ditanya mengapa beliau puasa pada hari Senin, beliau menjawab:
ذلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ
“Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan”. (HR Muslim)
Faedah Hadits:
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan puasa pada hari senin karena bersyukur kepada Allah, bahwa pada hari itu beliau dilahirkan. Ini adalah isyarat dari Rasulullah, artinya jika beliau berpuasa pada hari senin karena bersyukur kepada Allah atas kelahiran beliau sendiri pada hari itu, maka demikian pula bagi kita sudah selayaknya pada tanggal kelahiran Rasulullah tersebut untuk melakukan perbuatan syukur, misalkan dengan membaca al-Qur’an, membaca kisah kelahirannya, bersedekah, atau perbuatan baik lainnya.
Kemudian, oleh karena puasa pada hari senin diulang setiap minggunya, maka berarti peringatan maulid juga diulang setiap tahunnya. Dan karena hari kelahiran Rasulullah masih diperselisihkan oleh para ulama mengenai tanggalnya, -bukan pada harinya-, maka sah-sah saja jika dilakukan pada tanggal 12, 2, 8, atau 10 Rabi'ul Awwal atau pada tanggal lainnya. Bahkan tidak masalah bila perayaan ini dilaksanakan dalam sebulan penuh sekalipun, sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh as-Sakhawi seperti yang akan dikutip di bawah ini.
Fatwa Beberapa Ulama Ahlussunnah
1. Fatwa Syaikh al-Islam Khatimah al-Huffazh Amir al-Mu’minin Fi al-Hadits al-Imam Ahmad Ibn Hajar al-‘Asqalani. Beliau menuliskan menuliskan sebagai berikut:
أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً" وَقَالَ: "وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ.
“Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandung kebaikan dan lawannya, jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid’ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang tsabit (Shahih)”.
2. Fatwa al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi. Beliau mengatakan dalam risalahnya Husn al-Maqshid Fi ‘Amal al-Maulid: Beliau menuliskan sebagai berikut:
عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ.
“Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid, berupa kumpulan orang-orang, berisi bacaan beberapa ayat al-Qur’an, meriwayatkan hadits-hadits tentang permulaan sejarah Rasulullah dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan oleh orang-orang tersebut dan kemudian mereka bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid’ah hasanah yang pelakunya akan memperoleh pahala. Karena perkara semacam itu merupakan perbuatan mengagungkan terhadap kedudukan Rasulullah dan merupakan penampakan akan rasa gembira dan suka cita dengan kelahirannya yang mulia. Orang yang pertama kali merintis peringatan maulid ini adalah penguasa Irbil, Raja al-Muzhaffar Abu Sa'id Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang mulia, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun al-Jami’ al-Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun”.
3. Fatwa al-Imam al-Hafizh as-Sakhawi seperti disebutkan dalam al-Ajwibah al-Mardliyyah, sebagai berikut:
لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ". ثُمَّ قَالَ: "قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ.
“Peringatan Maulid Nabi belum pernah dilakukan oleh seorang-pun dari kaum Salaf Saleh yang hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada setelah itu di kemudian. Dan ummat Islam di semua daerah dan kota-kota besar senantiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahiran Rasulullah. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka mengeluarkan berbagai macam sedekah, mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih dari biasanya. Mereka bahkan meramaikan dengan membaca buku-buku maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara merata. Dan ini semua telah teruji”.
Kemudian as-Sakhawi berkata: “Aku Katakan: “Tanggal kelahiran Nabi menurut pendapat yang paling shahih adalah malam Senin, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10 dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh karenanya tidak mengapa melakukan kebaikan kapanpun pada hari-hari dan malam-malam ini sesuai dengan kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan pada hari-hari dan malam-malam bulan Rabi'ul Awwal seluruhnya” .
Jika kita membaca fatwa-fatwa para ulama terkemuka ini dan merenungkannya dengan hati yang jernih, kita akan mengetahui bahwa sebenarnya sikap “sinis” yang timbul dari sebagian orang yang mengharamkan Maulid Nabi tidak lain hanya didasarakan kepada hawa nafsu belaka. Orang-orang semacam itu sama sekali tidak peduli dengan fatwa-fatwa para ulama saleh terdahulu. Di antara pernyataan mereka yang sangat merisihkan ialah bahwa mereka seringkali menyamakan peringatan maulid Nabi ini dengan perayaan Natal yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Bahkan salah seorang dari mereka, karena sangat benci terhadap perayaan Maulid Nabi ini, dengan tanpa malu dan tanpa risih sama sekali berkata:
إِنَّ الذَّبِيْحَةَ الَّتِيْ تُذْبَحُ لإِطْعَامِ النَّاسِ فِيْ الْمَوْلِدِ أَحْرَمُ مِنَ الْخِنْزِيْرِ.
“Sesungguhnya binatang sembelihan yang disembelih untuk menjamu orang dalam peringatan maulid lebih haram dari daging babi”.
Orang-orang anti maulid ini menganggap bahwa perbuatan bid’ah semacam Maulid Nabi ini adalah perbuatan yang mendekati syirik. Dengan demikian, -menurut mereka-, lebih besar dosanya dari pada memakan daging babi yang hanya haram saja dan tidak mengandung unsur syirik.
Jawab:
Na’udzu Billah. Sungguh sangat kotor dan buruk perkataan orang semacam ini. Bagaimana ia berani dan tidak punya rasa malu sama sekali mengatakan peringatan Maulid Nabi, -yang telah disetujui oleh para ulama dan orang-orang saleh dan telah dianggap sebagai perkara baik oleh para ahli hadits dan lainnya-, dengan perkataan seburuk seperti ini?! Orang seperti ini benar-benar tidak tahu diri. Apakah dia merasa telah menjadi seperti al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Hafzih as-Suyuthi atau al-Hafizh as-Sakhawi atau bahkan merasa lebih alim dari mereka?! Bagaimana ia membandingkan makan daging babi yang telah nyata dan tegas hukum haramnya di dalam al-Qur’an, lalu ia samakan dengan peringatan Maulid Nabi yang sama sekali tidak ada pengharamannya dari nash-nash syari’at?! Ini artinya, bahwa orang-orang semacam dia yang mengharamkan maulid ini tidak mengetahui Maratib al-Ahkam; tingkatan-tingkatan hukum. Mereka tidak mengetahui mana yang haram dan mana yang mubah, mana yang haram dengan nash dan mana yang haram dengan istinbath. Tentunya orang-orang ”tolol” semacam ini sama sekali tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan atau ikutan dalam mengamalkan ajaran agama Allah ini.
Pembacaan Buku-Buku Maulid
Di antara rangkaian acara peringatan Maulid Nabi adalah membaca kisah-kisah tentang kelahiran Rasulullah. Al-Hafizh as-Sakhawi menuliskan sebagai berikut:
وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْمَوْلِدِ فَيَنْبَغِيْ أَنْ يُقْتَصَرَ مِنْهُ عَلَى مَا أَوْرَدَهُ أَئِمَّةُ الْحَدِيْثِ فِيْ تَصَانِيْفِهِمْ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ كَالْمَوْرِدِ الْهَنِيِّ لِلْعِرَاقِيِّ – وَقَدْ حَدَّثْتُ بِهِ فِيْ الْمَحَلِّ الْمُشَارِ إِلَيْهِ بِمَكَّةَ-، وَغَيْرِ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ بَلْ ذُكِرَ ضِمْنًا كَدَلاَئِلِ النُّـبُوَّةِ لِلْبَيْهَقِيِّ، وَقَدْ خُتِمَ عَلَيَّ بِالرَّوْضَةِ النَّـبَوِيَّةِ، لأَنَّ أَكْثَرَ مَا بِأَيْدِيْ الْوُعَّاظِ مِنْهُ كَذِبٌ وَاخْتِلاَقٌ، بَلْ لَمْ يَزَالُوْا يُوَلِّدُوْنَ فِيْهِ مَا هُوَ أَقْبَحُ وَأَسْمَجُ مِمَّا لاَ تَحِلُّ رِوَايَتُهُ وَلاَ سَمَاعُهُ، بَلْ يَجِبُ عَلَى مَنْ عَلِمَ بُطْلاَنُهُ إِنْكَارُهُ، وَالأَمْرُ بِتَرْكِ قِرَائِتِهِ، عَلَى أَنَّهُ لاَ ضَرُوْرَةَ إِلَى سِيَاقِ ذِكْرِ الْمَوْلِدِ، بَلْ يُكْتَفَى بِالتِّلاَوَةِ وَالإِطْعَامِ وَالصَّدَقَةِ، وَإِنْشَادِ شَىْءٍ مِنَ الْمَدَائِحِ النَّـبَوِيَّةِ وَالزُّهْدِيَّةِ الْمُحَرِّكَةِ لِلْقُلُوْبِ إِلَى فِعْلِ الْخَيْرِ وَالْعَمَلِ لِلآخِرَةِ وَاللهُ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ.
“Adapun pembacaan kisah kelahiran Nabi maka seyogyanya yang dibaca hanya yang disebutkan oleh para ulama ahli hadits dalam karangan-karangan mereka yang khusus berbicara tentang kisah kelahiran Nabi, seperti al-Maurid al-Haniyy karya al-‘Iraqi (Aku juga telah mengajarkan dan membacakannya di Makkah), atau tidak khusus -dengan karya-karya tentang maulid saja- tetapi juga dengan menyebutkan riwayat-riwayat yang mengandung tentang kelahiran Nabi, seperti kitab Dala-il an-Nubuwwah karya al-Baihaqi. Kitab ini juga telah dibacakan kepadaku hingga selesai di Raudlah Nabi. Karena kebanyakan kisah maulid yang ada di tangan para penceramah adalah riwayat-riwayat bohong dan palsu, bahkan hingga kini mereka masih terus memunculkan riwayat-riwayat dan kisah-kisah yang lebih buruk dan tidak layak didengar, yang tidak boleh diriwayatkan dan didengarkan, justru sebaliknya orang yang mengetahui kebatilannya wajib mengingkari dan melarang untuk dibaca. Padahal sebetulnya tidak mesti ada pembacaan kisah-kisah maulid dalam peringatan maulid Nabi, melainkan cukup membaca beberapa ayat al-Qur’an, memberi makan dan sedekah, didendangkan bait-bait Mada-ih Nabawiyyah (pujian-pujian terhadap Nabi) dan syair-syair yang mengajak kepada hidup zuhud, mendorong hati untuk berbuat baik dan beramal untuk akhirat. Dan Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki”.
Kerancuan Faham Kalangan Anti Maulid
1. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata: “Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya. Seandainya hal itu merupakan perkara baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.
Jawab:
Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Perkara yang tidak dilakukan oleh Rasulullah tidak sertamerta sebagai sesuatu yang haram. Tapi sesuatu yang haram itu adalah sesuatu yang telah nyata dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah. Karena itu Allah berfirman:
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا (الحشر: 7)
“Apa yang diberikan oleh Rasulullah kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS. al-Hasyr: 7)
Dalam firman Allah di atas disebutkan “Apa yang dilarang oleh Rasulullah atas kalian maka tinggalkanlah”, tidak mengatakan “Apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah maka tinggalkanlah”. Ini artinya bahwa perkara haram adalah sesuatu yang dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah, bukan sesuatu yang ditinggalkannya. Suatu perkara itu tidak haram hukumnya hanya dengan alasan tidak dilakukan oleh Rasulullah. Melainkan ia menjadi haram ketika ada dalil yang melarang dan mengharamkannya.
Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah untuk mengetahui bahwa sesuatu itu boleh atau sunnah harus ada nash dari Rasulullah langsung yang secara khusus menjelaskannya?! Apakah untuk mengetahui boleh atau sunnahnya perkara maulid harus ada nash khusus dari Rasulullah yang berbicara tentang maulid itu sendiri?! Bagaimana mungkin Rasulullah berbicara atau melakukan segala sesuatu secara khusus dalam umurnya yang sangat singkat?! Bukankah jumlah nash-nash syari’at, baik ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits nabi, itu semua terbatas, artinya tidak membicarakan setiap peristiwa, padahal peristiwa-peristiwa baru akan terus bermunculan dan selalu bertambah?! Jika setiap perkara harus dibicarakan oleh Rasulullah langsung, lalu dimanakah posisi ijtihad dan apa fungsi ayat-ayat atau hadits-hadits yang memberikan pemahaman umum?! Misalkan firman Allah:
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (الحج: 77)
“Dan lakukan kebaikan oleh kalian supaya kalian beruntung” (QS. al Hajj: 77)
Apakah kemudian setiap bentuk kebaikan harus dikerjakan terlebih dahulu oleh Rasulullah supaya dihukumi bahwa kebaikan tersebut boleh dilakukan?! Tentunya tidak demikian. Dalam masalah ini Rasulullah hanya memberikan kaedah-kaedah atau garis besarnya saja. Karena itulah dalam setiap pernyataan Rasulullah terdapat apa yang disebut dengan Jawami’ al-Kalim. Artinya bahwa dalam setiap ungkapan Rasulullah terdapat kandungan makna yang sangat luas.
Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ (رواه الإمام مسلم في صحيحه)
“Barang siapa yang memulai (merintis perkara baru) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya tersebut dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya sesudah dia, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
“Barang siapa merintis sesuatu yang baru dalam agama kita ini yang bukan berasal darinya maka ia tertolak”. (HR. Muslim)
Dalam hadits ini Rasulullah menegaskan bahwa sesuatu yang baru dan tertolak adalah sesuatu yang “bukan bagian dari syari’atnya”. Artinya, sesuatu yang baru yang tertolak adalah yang menyalahi syari’at Islam itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Rasulullah dalam hadits di atas: “Ma Laisa Minhu”. Karena, seandainya semua perkara yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah atau oleh para sahabatnya adalah perkara yang pasti haram dan sesat dengan tanpa terkecuali, maka Rasulullah tidak akan mengatakan “Ma Laisa Minhu”, tapi mungkin akan berkata: “Man Ahdatsa Fi Amrina Hadza Syai’an Fa Huwa Mardud” (Siapapun yang merintis perkara baru dalam agama kita ini maka ia pasti tertolak). Dan bila maknanya seperti ini maka berarti hal ini bertentangan dengan hadits riwayat Imam Muslim di atas sebelumnya. Yaitu hadits: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan....”. Padalah hadits riwayat Imam Muslim ini megandung isyarat anjuran bagi kita untuk membuat suatu yang baru, yang baik, dan yang sejalan dengan syari’at Islam.
Dengan demikian tidak semua perkara baru adalah sesat dan tertolak. Namun setiap perkara baru harus dicari hukumnya dengan dilihat persesuaiannya dengan dalil-dalil dan kaedah-kaedah syara’. Bila sesuai maka boleh dilakukan, dan jika menyalahi maka tentu tidak boleh dilakukan. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq (penelitian) para ulama adalah; bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong kepada hal yang buruk dalam syara’ maka berarti termasuk bid’ah yang buruk”.
Pantaskah dengan keagungan Islam dan keluasan kaedah-kaedahnya jika dikatakan bahwa setiap perkara baru adalah sesat?
2. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi biasanya berkata: “Peringatan maulid itu sering dibarengi dengan perkara-perkara haram dan maksiat”.
Jawab:
Apakah karena alasan tersebut lantas peringatan maulid menjadi haram secara mutlak?! Pendekatannya; Apakah seseorang haram baginya untuk masuk ke pasar, dengan alasan di pasar banyak yang sering melakukan perbuatan haram, seperti membuka aurat, menggunjingkan orang, menipu dan lain sebagainya?! Tentu tidak demikian. Maka demikian pula dengan peringatan maulid, jika ada kesalahan-kesalahan atau perkara-perkara haram dalam pelaksanaannya, maka kesalahan-kesalahan itulah yang harus diperbaiki. Dan memperbaikinya tentu bukan dengan mengharamkan hukum maulid itu sendiri. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar telah mengatakan:
أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً
“Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh pada tiga abad pertama, tetapi meski demikian peringatan maulid mengandung kebalikan dan lawannya. Barangsiapa dalam memperingati maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal buruk yang diharamkan), maka itu adalah bid’ah hasanah”.
3. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata: “Peringatan Maulid itu seringkali menghabiskan dana yang sangat besar. Hal itu adalah perbuatan tabdzir. Mengapa tidak dialokasikan saja untuk kebutuhan ummat yang lebih penting?”.
Jawab:
Laa Hawla Walaa Quwwata Illa Billah. Perkara yang telah dianggap baik oleh para ulama disebutnya sebagai tabdzir?! Orang yang berbuat baik, bersedekah, ia anggap telah melakukan perbuatan haram, yaitu perbuatan tabdzir?! Mengapa orang-orang seperti ini selalu saja berprasangka buruk (suuzhzhann) terhadap umat Islam?! Mengapa harus mencari-cari dalih untuk mengharamkan perkara yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya?! Mengapa mereka selalu saja beranggapan bahwa peringatan maulid tidak ada unsur kebaikannya sama sekali untuk ummat ini?! Bukankah peringatan Maulid Nabi mengingatkan kita kepada perjuangan Rasulullah dalam berdakwah sehingga membangkitkan semangat kita untuk berdakwah seperti yang telah dicontohkan beliau?! Bukankah peringatan Maulid Nabi memupuk kecintaan kita kepada Rasulullah dan menjadikan kita banyak bershalawat kepadanya?! Sesungguhnya maslahat-maslahat besar semacam ini bagi orang yang beriman tidak bisa diukur dengan harta.
4. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi sering berkata: “Peringatan Maulid itu pertama kali diadakan oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Tujuan beliau saat itu adalah memobilisasi ummat untuk berjihad. Berarti orang yang melakukan peringatan maulid bukan dengan tujuan itu, telah menyimpang dari tujuan awal maulid. Oleh karenanya peringatan maulid tidak perlu”.
Jawab:
Pernyataan seperti ini sangat aneh. Ahli sejarah mana yang mengatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn al-Jauzi, Ibn Katsir, al-Hafizh as-Sakhawi, al-Hafizh as-Suyuthi dan lainnya telah sepakat menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Raja al-Muzhaffar, bukan sultan Shalahuddin al-Ayyubi.
Orang yang mengatakan bahwa sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi telah membuat “rekayasa jahat” terhadap sejarah. Perkataan mereka bahwa sultan Shalahuddin membuat maulid untuk tujuan mobilisasi umat untuk jihad dalam perang salib, maka jika diadakan bukan untuk tujuan seperti ini berarti telah menyimpang, adalah perkataan yang menyesesatkan. Target mereka yang berkata demikian adalah hendak mengharamkan maulid, atau paling tidak hendak mengatakan tidak perlu.
Kita katakan kepada mereka: Apakah jika orang hendak berjuang harus bergabung dengan bala tentara sultan Shalahuddin? Apakah menurut mereka yang berjuang untuk Islam hanya bala tentara sultan Shalahuddin saja? Dan apakah dalam berjuang harus mengikuti metode dan strategi Shalahuddin saja, dan jika tidak, berarti tidak berjuang namanya?!
Hal yang sangat mengherankan ialah kenapa bagi sebagian mereka yang mengharamkan maulid ini, dalam keadaan tertentu, atau untuk kepentingan tertentu, kemudian mereka mengatakan maulid boleh, istighotsah boleh, bahkan ikut-ikutan tawassul, tapi kemudian terhadap orang lain mereka mengharamkannya?! Hasbunallah.
Para ahli sejarah yang telah kita sebutkan di atas, tidak ada seorangpun dari mereka yang mengisyaratkan bahwa tujuan maulid adalah untuk memobilisasi ummat untuk jihad dalam perang di jalan Allah. Lalu dari mana muncul pemikiran seperti ini?! Tidak lain, pemikiran tersebut hanya muncul dari hawa nafsu belaka. Benar, mereka selalu mencari-cari celah sekecil apapun untuk mengungkapkan “kebencian” dan “sinis” mereka terhadap peringatan Maulid Nabi ini. Apa dasar mereka mengatakan bahwa peringatan maulid baru boleh diadakan jika tujuannya mobilisasi massa untuk jihad?! Apa dasar perkataan seperti ini?! Sama sekali tidak ada.
Al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafizh as-Suyuthi, al-Hafizh as-Sakhawi dan para ulama lainnya yang telah menjelaskan tentang kebolehan peringatan Maulid Nabi, sama sekali tidak mengaitkannya dengan tujuan mobilisasi massa untuk berjihad. Kemudian dalil-dalil yang mereka kemukakan dalam masalah maulid tidak menyebut prihal jihad sama sekali, bahkan mengisyaratkan saja tidak. Dari sini kita tahu betapa rancu dan tidak berdasar perkataan mereka bila sudah berkaitan dengan hukum, istinbath dan istidlal.
Semoga Allah merahmati para ulama kita. Sesungguhnya mereka adalah cahaya penerang bagi umat ini dan sebagai penuntun bagi kita semua menuju jalan yang diridlai Allah. Amin.
Selasa, 18 Januari 2011
MAU DOWNLOAD GRATIS LEWAT GOOGLe..?
Ingin download segala macam file dengan gratis lewat google gunakan aja kode ini.
note: segala macam aktivitas yang terkait dengan artikel ini menjadi menjadi tanggung jawab pembaca sendiri
“parent directory ” kata kunci -xxx -html -htm -php -shtml -opendivx -md5 -md5
sumskode ini sudah sering digunakan dan kebanyakan berhasil, kode ini sebenarnya untuk masuk kedalam direktori folder sebuah website (dibawah index.php), jika kita sudah masuk dalam direktori sebuah website kita bisa bebas download content apa aja yang ada didalam website tersebut. (note : ganti kata kunci dengan file yang ingin kamu cari, boleh disertai dengan ekstensi misal military secret.doc, atao yang laen)
+(”index of”) +(”/ebooks””/book”) +(chmpdfziprar) +apachekode
program ini untuk menampilkan daftar website yang mengandung file berbentuk pdf, atau zip atau rar dan berada dibawah folder ebooks pada sebuah websites dengan server yang berbasis Aphace.
Index of /penggunaan kode ini lalu dibelakang tanda (/) dapat memberikan informasi yang penting dan sifatnya sensitif contoh :
index of /password
index of/admin
“Index of /” +passwd
“Index of /” +password.txt
“Index of /” +.htaccess
“Index of /config”
“Index of/admin.asp
“Index of/login.asp
intext:admin kode ini akan menghasilkan link yang memiliki kata / keyword admin
allinurl: +(rarchmzippdftgzlit) kimia organik
kode ini untuk mencari file biasanya juga berbentuk ebook (rar, zip,pdf) pada sebuah website yang memiliki kata kimia organik
?intitle:index.of?
Kata kunci kode ini hampir mirip dengan kode pertama diatas yang saya berikan hanya kode ini lebih simpel sehingga tidak terlalu capek ngetik, namun terkadang juga tidak bisa memasuki sebuah halaman website tertentu dimana bila kita menggunakan kode yang pertama kita bisa lebih mudah masuk.
Googling file di megaupload
Untuk mencari File Video ketik : avimpgmpegwmvrmvb site:megaupload.com
Untuk mencari File musik ketik : mp3oggwma site:megaupload.com
Untuk mencari archive dan program ketik : ziprarexe site:megaupload.com
Untuk mencari ebooks ketik : pdfrarzipdoclit site:megaupload.com
Googling file di rapidshare.de
Untuk mencari File Video ketik : avimpgmpegwmvrmvb site:rapidshare.de
Untuk mencari File musik ketik : mp3oggwma site:rapidshare.de
Untuk mencari archive dan program ketik : ziprarexe site:rapidshare.de
Untuk mencari ebooks ketik : pdfdoclitrarzip site:rapidshare.de
SCRIPT PERUSAK WINDOWS
ni ada sedikit tutorial yang saya dapat waktu lagi bareng sama mbah google, tapi nie semata mata buat pengetahuan jadi jangan di salah gunakan.,,.,
ni caranya :
1 buka aplikasi notepat.exe
2 copy paste code di bawah ini
3 save as tulisan warna merah dengan nama apa aja...!! terserah kamu yang penting ber'extensi [*.bat]
contohnya : setelah code di atas di copy paste trus kamu save as dengan pilihan file
(all) berikan nama file tersebut misalnya : {cewe sexy}= cewe sexy.bat trus save...
file yang sudah jadi itu iconya mirip2 command pront pada windows. nah file yang bakalan buat dia menderita?? ... hihihiiihiiiihi soalnya harus install ulang windowsnya sudah jadi. tinggal masukin filenya ke komputer target]. biarin dia terkecoh membuka file tadi...dan dalam waktu kurang dari 2 menit komputernya akan restart dan mengkonfirmasikan bahwa terjadi corrupt pada system komponen windows dan harus di install ulang...
slamat mencoba.....@?#>#?$$?>%?%%
RESIKO TANGGUNG SENDIRI Baca Lanjutannya......
TA'ZIYAH
A. PENGERTIAN TA’ZIYAH
التعزية وَهِيَ الْأَمْرُ بِالصَّبْرِ وَالْحَمْلِ عَلَيْهِ بِوَعْدِ الْأَجْرِ وَالتَّحْذِيرِ مِنْ الْوِزْرِ بِالْجَزَعِ وَالدُّعَاءِ لِلْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ بِالْمَغْفِرَةِ وَلِلْمُصَابِ بِجَبْرِ الْمُصِيبَةِ وظَاهِرُهُ أَنَّ التَّعْزِيَةَ إنَّمَا تُحَقَّقُ بِمَجْمُوعِ ذالك وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ غَيْرُ مُرَادٍ فَلْيُرَاجَعْ رَشِيدِيٌّ
Ta’ziyah adalah mengajak serta menghibur dengan perkata-perkataan yang dapat menentramkan, mendamaikan jiwa orang-orang yang sedang ditimpa kesusahan ( musibah kematian ) untuk bersabar dan tabah dalam menghadapi cobaan serta mendoakan keampunan dosa-dosa terhadap manyat dan medoakan pahala terhadap orang-orang yang ditimpa musibah.
Dari pengertian Ta’ziyah dalam kitab Tuhfatul Muhtaj yang terdapat pada hal.210 secara dhahir ibarat menyatakan bahwa “ baru dikatakan melakukan Ta’ziyah mesti ijtimak semua perkara tersebut (الْأَمْرُ بِالصَّبْرِ وَالْحَمْلِ عَلَيْهِ بِوَعْدِ الْأَجْرِ وَالتَّحْذِيرِ مِنْ الْوِزْرِ بِالْجَزَعِ وَالدُّعَاءِ لِلْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ بِالْمَغْفِرَةِ وَلِلْمُصَابِ بِجَبْرِ الْمُصِيبَةِ) .
Ta`ziah tidak hanya saja dilakukuan untuk orang yang meninggal saja tetapi juga dianjurkan kepada orang-orang yang memang peristiwa tersebut merupakan musibah baginya seperti kehilangan dan sebagainya ini sesuai dengan hadis nabi:
"من عزى مصابا فله مثل أجره"
Artinya: Siapa saja yang melakukan ta`ziah kepada orang-orang yang ditimpa musibah maka dia akan mendapat pahala seperti si musibah tersebut.
B. HUKUM TA’ZIYAH DITINJAU DARI MASA MELAKUKANNYA
1. Sunat Ta’ziyah Selama Tiga Hari
Dari definisi Ta’ziyah diatas dapat kita fahami bahwa melakukan Ta’ziyah adalah Sunat. Mengapa demikian?? Secara akal dan pikiran sehat pasti mengakui bahwa menghibur orang-orang yang sedang mengalami kesusahan merupakan perbuatan baik dan agama menganjurkan berbuat baik sesama manusia. Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 2 yang bunyinya sebagai berikut:
وتعاونوا على البر والتقوى
Artinya: Tolong menolonglah untuk berbuat kebaikan dan taqwa.
Salah satu yang tergolong dalam perbuatan baik adalah menghibur orang-orang yang sedang mengalami kesusahan terhadap cobaan yang sedang menimpanya. Selain dari pengertian ayat diatas mengarah bahwa melakukan Ta’ziyah merupakan sunat karena Ta’ziyah merupakan salah satu dari sekian banyak perbuatan lainnya, disini akan disebutkan beberapa nas kitab klasik yang menyatakan bahwa Ta’ziyah adalah sunat. Beberapa kitab klasik ini adalah sampel terhadap kitab-kitab klasik lainnya yang tidak disebutkan disini.
Sunat melakukan Ta’ziyah sesuai dengan nas-nas kitab klasik ( kitab-kitab kuning ). Adapun kitab-kitab yang telah menyatakan bahwa Ta’ziayah merupakan sunat adalah:
1. kitab I’anatuttalibin hal: 145.
Didalam kitab ini telah dinyatakan bahwa: تسن تعزيةالمصاب . Pernyataan kitab I’anah ini berdasarkan beberapa hadis yang di riwayatkan oleh perawi-perawi hadis yang tekenal seperti Turmizi dan Ibnu Majah.
A. Hadis Turmizi dari ibnu Mas’ud yang berbunyi:
قال رسول الله صلي الله عليه وسلم من عزي مصابا فله مثل أجره
B. Hadis Turmizi dari Abi Barzah yang berbunyi:
من عزى ثكلى كسى بردا
C. Hadis Ibnu Majah dan Baihaqi dari Umar Ibnu Hazam yang berbunyi:
مامن مؤمن يغزى اخاه بمصيبة الا كساه الله عزوجل من حلل الكرامة يوم القيامة
2. kitab Bujairimi hal : 648.
Dalam kitab ini telah dinyatakan bahwa: Melakukan Ta’ziyah kepada keluarga Mayit ( orang-orang yang ditimpa musibah ) adalah sunat hukumnya. Ini sesuai dengan matannya: “ وسن تعزية نحو اهل الميت”. Pernyataan kitab bujairimi ini berdasarka hadis yang diriwayatkan oleh Syaikhain (Bukhari-Muslim) yang matannya sebagai berikut:
نبي صلى الله عليه وسلم مر علي امرأة تبكي على صبي فقال لها اتقي الله وصبري ثم قال انما الصبر أي الكامل عند الصدمة الاوالى رواه الشيخان
Artinya: Suatu hari Nabi SAW melewat didepan seorang wanita yang sedang menangisi kematian anaknya, kemudian Nabi memerintahkan kepada perempuan itu untuk bertaqwa kepada Allah dan bersabar atas cobaan yang menimpanya. Kemudian nabi berkata “ bersabar ketika mendapat musibah lebih baik baginya”.
Hadis diatas menunjukkan bahwa “Bersabar ketika mendapat musibah lebih baik ketimbang sabar sesudah berlalunya musibah”. Selain hadis yang tersebut diatas dalam kitab Bujairimi juga terdapat hadis yang lain. Dimana hadis ini menganjurkan kepada ummat Islam untuk melakukan Ta’ziyah. Berikut ini adalah matan hadis yang dimaksud.
أن أسامة بن زيد قال أرسلت إحدى بنات النبى صلى الله عليه وسلم تدعوه وتخبره أن ابنا لها في الموت فقال للرسول: إرجع إليها فأخبرها أن لله ما أخذ وله ما أعطى وكل شيئ عنده بأجل مسمى فمرها فلتصبر ولتحتسب.
3. Mughny al-Muhtaj hal:
Dalam kitab ini telah dinyatakan bahwa “ melakukan Ta’ziyah adalah sunat, baik sebelum mayit dikebumikan maupun sesudah dikebumikan selama tiga hari. Pernyataan kitab ini bedasarkan hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah dan Boihaqi.
مامن مؤمن يغزى اخاه بمصيبة الا كساه الله عزوجل من حلل الكرامة يوم القيامة
4. Tuhfatul Muhtaj hal:
5. Al-Mahally hal:
6. Raudhatut Thalibin hal:
7. Fathul Wahab
8. Syarah Wajiz hal:
9. Majmuk Syarah Muhazzab hal:
10. Nihayatul Muhtaj hal:
11. Syarah Bahjah hal:
12. Astna Mathalib hal:
13. Hasyiah Jamal hal:
14. Kitab Al-Anwar hal:
15. Fiqh Islam hal:
16. Bujairimi ‘Ala Khathib hal:
Semua kitab-kitab yang tersebut diatas menyatakan bahwa “ Hukum Ta’ziyah adalah Sunat selama tiga hari”. Jadi sudah dapat kita simpulkan berdasarkan matan-matan kitab yang tersebut diatas bahwa Ta’ziyah adalah sunat selama tiga hari.
Mengenai permulaan perhitungan waktu tiga ini para ulama berbeda pendapat. . a. Ada yang menyatakan bahwa: waktu permulaan Ta’ziyah sesudah mayit dikebumikan. Pernyataan ini sesuai dengan nas kitab Tuhfatul Muhtaj hal:…….. di dalam kitab ini disebutkan: “ وأتداؤها من الدفن كما في المجموع ”.
b. Ada yang menyatakan bahwa: waktu permulaan Ta’ziyah sesudah meninggal walaupun sebelum mayit dikebumikan. Pendapat ini merupakan pendapat yang kuat. Dalam kitab Syarwani hal…….di nyatakan
واعترضه جمع بأن المنقول انه من الموت هذا هو المعتمد شرح م ر
Demikianlah mengenai ketetapan waktu permulaan Ta’ziyah yang terdapat dalam kitab-kitab yang sudah diakui keabshahannya. Maka dari ringkasan batas waktu ta`ziah di atas dapat kita fahami bahwa berulangkali berta`ziah tidak dimakruhkan dalam tiga hari walaupun dapat menimbulkan gundah yang baru.
2. Makruh Melakunkan Ta’ziyah Sesudah Tiga Hari
Melakukan Ta’ziyah sesudah tiga hari adalah Makruh.
Dari definisi Ta’ziyah diatas dan nilai-nilai yang terdapat pada disyari’atkan Ta’ziyah dapat disimpulkan bahwa melakukan Ta’ziyah sesudah tiga hari termasuk dalam salah satu perbuatan yang makruh. Mengapa demikian?? Orang yang berpikiran yang sehat pasti mengakui bahwa menyusahkan, menyengsarakan orang lain adalah salah satu perbuatan yang dilarang. Melakukan Ta’ziyah sesudah tiga hari dapat menimbulkan kegundahan kembali terhadap ahli mayit karena pada kebiasaan kegundahan akan hilang sesudah tiga. Manakala melakukan Ta’ziyah pada hari keempat dan hari-hari selanjutnya sama halnya dengan membangkitkan kegundahan, kegelisahan kembali terhadap ahli mayit. Tetapi bila seandainya si penta`ziah atau dita`ziah tersebut jauh (membolehkan qasar sembahnyang ) maka tidak mengapa berta`ziah pada hari keempat dan hari-hari selanjutnya. Imam Haramain memberi alasan di dalam kitab Qalyubi `ala syarhil minhaj bahwa sanya disyari`atkan berta`ziah selama tiga hari yang semestianya setiap manusia harus bersabar dari hari pertama, karena setiap jiwa menusia tidak sanggup menahan kegundahan dan kesedihan dalam tiga hari tersebut, maka dengan latar belakang itulah di rukhsahkan berta`ziah selama tiga hari, dan pada kebiasaannya kegundahan itu akan hilang dalam waktu tiga hari.
Makruh berta’ziyah sesudah hati ketiga sesuai dengan nas kitab-kitab kuning. Adapun kitab-kitab yang telah dikaji yang isinya menyatakan bahwa “Berta’ziyah sesudah hari ketiga merupakan Makruh” adalah sebagai berikut:
1. Kitab Bujairimi, cet: Bairut. Hlm: 649.
Dalam kitab ini dinyatakan bahwa “تكره التعزية بعدها ” Ta’ziyah adalah makruh sesudah tiga hari
2. Kitab Mughny al-Muhtaj, hlm:
3. Kitab Tuhfatul Muhtaj, hlm:
4. Al-Mahally, hlm:
5. Raudhatut Thalibin, hlm:
6. Fathul Wahab, hlm:
7. Syarah Wajiz, hlm:
8. Majmuk Syarah Muhazzab, hlm:
9. Nihayatul Muhtaj, hlm:
10. Syarah Bahjah, hlm:
11. Hasyiah Jamal, hlm:
12. Fiqh Islami, hlm 1573
13. Bujairimi ‘ala Khathib, hlm:
C. HUKUM TA’ZIYAH DITINJAU DARI SISI PENTA’ZIYAH DAN ORANG YANG DITA’ZIYAH
a. Sunat
1. Seorang muslim sunat melakukan Ta’ziyah terhadap muslim yang lain ( apakah ia seorang penzina yang muhsan maupun orang yang meninggalkan shalat). Islam telah menyatakan bahwa “ Islam bagaikan tubuh yang satu”. Ini sesuai dengan pernyataan hadis yang diriwayatkan oleh……..الإسلام كالجساد الواحد . Dalam artian bila seseorang muslim mendapat kesenangan maka muslim yang lain juga ikut senang, begitu juga bila seorang muslim mendapat musibah maka muslim yang lain juga merasakan hal yang sama. Dengan demikian tidak dapat dipungkiri bahwa seorang muslim berta’ziyah kepada muslim yang lain adalah sunat. Dalam kitab Bujairimi hlm. 659 telah dinyatakan bahwa:
( فيعزى مسلم بمسلم) بأن يقال له (أعظم اللله أجرك وأحسن عزاءك وغفر لميتك)
Seorang muslim melakukan Ta’ziyah kepada muslim yang lain seraya berkata ia “ Allah SWT ………………………………..
Dari matan kitab ini memang tidak dinyatakan langsung tentang sunat tetapi dalam Syarah kitab ini pada hlm yang sama (pada قوله:بمسلم) telah dinyatakan secara langsung bahwa Ta’ziyah muslim kepada muslim yang lain adalah sunat.
2. Seorang muslim sunat melakukan Ta’ziyah kepada kafir ( baik kafir itu harbi atau bukan) dengan harapan kafir itu masuk Islam karena tersentuh jiwanya dengan kebaikan Islam. Dalam Syarah Bujairimi hal.650 (pada قوله فلا يعزيان dan قوله وللمسلم تعزية كافر ) menyatakan bahwa seorang muslim sunat melakukan Ta’ziyah terhadap kafir dengan harapan kafir tersebut masuk Islam.
b. Makruh
وسن ان يعمهم بها حتى الصغار والنساء الا الشابة فلا يعزيها الامحارمها ونحوهم
Sunat melakukan Ta’ziyah ke seluruh ahli si mayit, baik anak-anak kecil ataupun wanita kecuali gadis-gadis yang cantik maka tidak boleh berta’ziyah kepadanya kecuali orang-orang yang ada hubungan tali persaudaraan(orang-orang yang tidak boleh kawin dengannya).
1. Dimakruhkan bagi seseorang Ajnabi yang tidak mempunyai hubungan dengan seseorang perempuan yang dita`ziahkan untuk melakukan ta`ziah kepada siperempuan tersebut, kecuali bila seandainya si perempuan tersebut mempunyai mahram, suami atau seseorang yang dibolehkan melihatnya menurut syara`. hukum makruh ta`ziah disini tidak dibedakan apakah memang si ajnabi yang melakukan Ta’ziyah pertama kali atau ataukah berta`ziah untuk membalas ta`ziah yang pernah dilakukan oleh si perempuan yamg dita`ziakan. Ini diuraikan dalam kitab Bujairimy hal 649 pada قوله (الا الشابة فالا يعزى ا
c. Haram
1. Haram hukumnya bagi setiap perempuan-perempuan muda untuk melaksankan ta`ziah. Haram disini karena diqiaskan dengan diharamkan mengucapkan salam perempuan terhadap Ajnabi.
D. HIKMAH DIBALIK DISUNATKAN TA’ZIYAH SELAMA TIGA HARI.
Sebagai manusia yang berakal serta mempunyai pikiran yang waras pasti akan bertanya-tanya dalam benaknya “ Mengapa Agama Mensyari’atkan Ta’ziyah Selama Tiga Hari?? ”. Kebanyakan dari hukum-hukum yang disyari’atkan Allah kepada hamba-Nya mengandung nilai-nilai hikmah. Salah satu hukum yang mengandung nilai-nilai hikmah adalah Sunat Ta’ziyah selama tiga hari. Adapun hikmah Ta’ziyah selama tiga hari sebagaimana terdapat dalam kitab Bujairimi pada halaman: 649 adalah sebagai berikut:
a. Menenangkan, menentramkan jiwa orang-orang yang sedang mengalami musibah.
Maksud dan tujuan berkunjung ke tempat orang-orang yang mengalami musibah adalah membujuk serta menghibur mareka dengan perkataan-perkatan yang dapat menghilangkan kesusahan dan kegelisan yang sedang mareka hadapi.
b. Kebiasan kegundahan yang menimpa orang-orang yang sedang dilanda musibah akan hilang dalam masa tiga hari.
